Sendiriku di penantian tak berujung, menatap kosong keatas langit-langit kamar, lampu menyorot mataku tajam tapi aku tak perduli, hanya diam membisu seribu bahasa, aku hilang arah karena orang-orang yang kusayangi telah meninggalkanku, bukan sekedar satu atau dua tahun, tetapi untuk selamanya. Semua berakhir seperti ini karena aku, karena kebodohanku yang membuat mereka hilang, pergi meninggalkanku. Kucoba kembali mengulang, mengupas luka yang tersasat dalam, saat itu terpatri tajam dalam ingatan aku mengamuk seperti kerasukan membuang apa saja yang bisa kubuang, mendobrak apa saja yang bisa ku dobrak, memukul apa saja yang bisa kupukul, semua karena aku merasa kurang, segalanya kurang hidupku, kebutuhan sekunderku pun jarang sekali terpenuhi.
“Kenapa sih Bu, tidak pernah mengabulkan sekali saja permintaanku? Padahal apa yang kuminta, hanya sebuah Handphone, Handphone sekarang sudah menjadi kebutuhan utama semua orang Bu! Coba saja kalau ayah ada disini, pasti hidup kita tidak sengsara seperti ini Bu!” bentakku kepada Ibu.
Dengan nada yang rendah Ibu menjawab “Nak, ini Ibu sudah usahakan, Ibu sudah mencari pinjaman kesana kemari, ke Ibu Desty yang seorang rentenir pun Ibu sudah mintai pinjaman dan maafkan Ibu yang telah membuatmu dan kakakmu hidup dalam lingkar kemiskinan seperti ini, memang Ayahmu bisa membuat hidup kita bahagia, tapi hanyalah kebahagiaan semu semata Nak.”
Dengan lantang aku membalas perkataan Ibu “Apa Ibu ini hanya bisanya berkata, tetapi mana? Mana buktinya Bu?”
Ibu berkata lagi, “Nak, memang Ibu hanya berkata saja sekarang, tatapi cobalah untuk bersabar sedikit saja, kakakmu sudah membanting tulang untuk mengusahakan handphonemu itu Nak!”
Aku membentak Ibu dengan lebih keras, “Apa Bu buktinya? Kakak hanya berangkat pagi pulang malam tanpa hasil, tanpa pekerjaan yang jelas.”
Ibu membantah dengan lembut, “Kakakmu itu bekerja nak, kamu tidak tahu semuanya, kakakmu..” pembicaraan Ibu terpotong karena kakak tiba-tiba masuk dalam dialog pembicaraan itu.
“Sudah Bu, Daka hanya sedang emosi jangan dimasukin ke hati ya Bu, Ibu tidur saja biar Melody yang bicara kepada Daka” potong kakakku.
Ibu mengangguk saja dengan badan yang agak lemas, aku tak memperdulikannya dan langsung menuju kamar, menutup pintu keras-keras. Kutenangkan diriku sejenak dan berfikir secara rasional, dalam amarahku yang bergejolak ada sedikit perasaan menyesal kepada Ibu yang telah kubentak-bentak, tetapi perasaan itu hilang karena kakakku yang menyebalkan masuk ke kamarku tanpa mengetok pintu. “Braaakkk!!!” pintu kamarku terbentur dinding.
“Hey, apakah kamu gak bisa sopan sedikit? Ketuk pintu kek!” kataku reflek
“Don, kamu bisa sopan sedikit nggak sama Ibu? Ibu itu sudah tua Don, punya penyakit jantung pula! Mikir donk Don.” Bentak kakakku.
Aku menimpali perkataan kakak dengan sedikit mengumpat, “Shit, aku sudah gak mau dengar apapun yang keluar dari mulutmu dan seisi rumah ini, pergi kamu dari kamarku!”
Tanpa aba-aba kakak pergi dengan nafas yang agak terbata-bata karena asmanya kambuh. Kukunci kamarku, lalu aku melangkah ke kamar tidur untuk menenangkan kembali hati dan pikiranku yang keruh karena kejadian tadi. Mentari mendobrak jendela kamarku dan bau rumput basah menusuk hidung memaksaku terbangun dari petualanganku di negeri kapuk. Bergegasku menuju kamar mandi untuk memulai hari baru dengan penuh ceria, mungkin aku sudah agak sedikit lupa akan kejadian semalam. Setelah mandi, aku berangkat sekolah seperti biasa tetapi dengan raut muka yang kulipat dan sikapku yang dingin kepada Ibu dan Kak Melody.
Kujalani hari demi hari, minggu demi minggu kujalani semua seperti biasa tanpa ada yang spesial di dalam hari-hariku ini, hanya seorang siswa yang ingin menikmati hidup sesuai dengan keinginnannya, dengan isi hatinya, tidak sesuai dengan logika dan rasio.
Dan tibalah pada suatu senja, aku sedang duduk di teras depan dengan Novel diatas pangkuanku kutengok ke kiri, kudapati Kak Melody sedang memakai sandal pantainya dengan pakaian rapih dan membawa kotak besar yang dibungkus dengan kantong plastik besar berwarna hitam, dan kucoba menyapa,
“Rapi amat mau kondangan? Apa mau kerja gak jelas?” Dengan sinis.
“Dek, kakak ada perlu sebentar ya. Tolong kamu jaga Ibu, Ibu lagi enggak enak badan di kamar. Kakak cuman pesen jaga ya Ibu!”
“Hmm..” Jawabku tanpa gairah.
Tak lama setelah kakak pergi meninggalkan rumah, Azan Maghrib pun mulai menyuarakan keindahan lantunan suaranya, aku masuk dan segera melihat keadaan Ibu. Ibu sedang tertidur, aku segera ke masjid untuk sholat Maghrib berjamaah. Selepasnya aku sholat dan kembali ke rumah, di meja makan sudah tersedia makanan. Kutengok ke dapur ternyata, Ibu sudah bangun dan memasak air di dapur. Dengan lahap aku makan, setelah kenyang aku berpamitan kepada Ibu untuk pergi ke Masjid, Sholat Isya’ berjamaah dan membunuh malam dengan mengaji di Masjid yang terletak hanya 20 meter dari rumah. Lima menit berlalu dan Imam pun mengucap salam, berdoa dan berdzikir itu yang kulakukan setelahnya, tepat pukul delapan malam aku kembali ke rumah untuk tidur, tapi anehnya Kak Melody belum juga kembali dari pekerjaan tidak jelasnya, biasanya kak Melody pulang jam setengah tujum malam, paling telat jam setengah delapan tetapi mengapa sampai jam delapan belum pulang?
Kecemasan mulai mendera aku dan Ibu, detik demi detik, menit berganti menit aku menunggu kak Melody pulang. Kulihat Ibu sudah terlelap di atas dipan rotan di depan ruang tamu, kecemasanku mulai mencapai klimaksnya karena cemas, aku mondar-mandir sambil melamun. Ditengah lamunanku, tiba-tiba pintu rumah diketok oleh seseorang “tok..tok..”
Aku berlari menuju depan dan segera membuka pintu, ternyata dua orang polisi bertubuh kekar dengan seragam lengkap yang berdiri di depan pintu rapuh itu.
Dengan sedikit terbata-bata aku mencoba memulai pembicaraan, “Ada perlu apa ya Pak?”
Polisi itu menjawab, “Selamat Malam, kami dari kepolisian sektor Surabaya Pusat ingin menginformasikan kepada Saudara bahwa kakak anda yang bernama Melody mengalami penodongan dan terluka parah..” belum selesai polisi itu berbicara sudah kupotong dan Ibu pun terbangun dari tidur pulasnya, bergegas pergi kedepan untuk menemaniku,
“Apa? Kak Melody ditodong? Terus bagaimana keadaan kak Melody Pak Polisi? Dan bagaimana kronologis kejadiaan penodongan terhadap kakak saya itu Pak?”
“Maaf, kasus ini dalam penyelidikan pihak kami, untuk lebih lanjut...” Pembicaraan polisi itu terpotong, oleh suara dering handphone yang dibawanya.
Dengan pembicaraan yang tidak jelas, yang dapat kudengar hanya desas desus suara yang silih berganti dari speaker handphone polisi itu, tak selang beberapa menit polisi itu menutup pembicaraan dan melanjutkan dialog denganku.
“Begini kejadiannya, saat kakak anda berjalan di jalan protokol Ahmad Yani, jalan tersebut dalam keadaan sepi. Tiba-tiba datang segrombolan pria bertopeng yang mengendarai sepeda motor menodong kakak anda dengan sebilah pisau daging. Kakak anda berusaha mempertahankan sebuah kotak dan lukisan yang dibungkus dengan plastik hitam yang dibawanya, setelah berusaha mempertahankan haknya akhirnya kakak anda tertusuk pada bagian dada kirinya dengan bersimbah darah. Mengetahui itu gerombolan perampok itu kabur meninggalkan kakak anda tergeletak di jalan, untungnya ada seorang warga yang langsung mengevakuasi kakak anda ke rumah sakit terdekat, tapi sialnya kakak anda tidak tertolong dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Cerita polisi itu dengan panjang lebar.
Mendengar kata-kata Polisi itu, seperti sambaran petir dengan kerasnya menerkam tubuhku hingga mulutku menganga dan mataku nanar oleh gumpalan air mata di kelopak mataku. Ibu langsung lemas dan tak sadarkan diri setelah mendengar perkataan polisi tersebut, aku beserta kedua polisi tersebut membopong Ibu kedalam kamar. Dengan lelehan air mata yang sudah tak dapat lagi kubendung, kucoba menerima kenyataan yang sesungguhnya tidak kuinginkan terjadi, walaupun dewasa ini hubunganku dengan Kak Melody tidak begitu akrab, aku sangat sayang dan menginginkan waktu berhenti agar aku dapat mencegah berjalannya takdir yang seperti ini.
Aku tak bisa berkata-kata apapun, polisi itu berpamitan dan menginformasikan kepada aku untuk segera mengurus kepulangan jenazah Kak Melody, dengan mata masih nanar aku mengiakan dan menutup pintu warna biru pudar rumahku.
Malam itu terasa begitu hening bahkan sangat hening, mengingat semua yang telah aku perbuat kepada kak Melody, membentaknya, memakinya, mencemoohnya. Penyesalan ini memang sudah terlambat, dan kini hilang semua kesempatanku untuk sedikit saja meminta maaf kepadanya, untuk bisa sedetik saja membuat dia tersenyum lebar. Aku hanya terduduk manis di sofa depan sambil mendekap erat tubuhku untuk mengingat kembali memori lawasku bersama Kak Melody yang selama ini kututup rapat dan kukunci di dalam nurani.
Pagi yang cerah mulai menjelang, tapi tak secerah kehidupanku kala ini. Aku bergegas mandi dan berganti pakaian untuk mengurus kepulangan jenazah Kak Melody, aku bagaikan mayat yang berjalan, semua serasa hampa tanpa Kak Melody. Setengah jam kuurus semuanya dan setibanya Jenazah Kakak dirumah, semua sudah disiapkan Ibu. Upacara pemakaman kakakku sudah tertata rapih, kuiringi bersama ibu semua prosesi pemakaman dengan simfoni hitam yang mengalun sendu di dalam hatiku dan Ibu. Sepulangnya kami dari pemakaman, Ibu memasuki kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun. Sadar akan hal itu aku menyusul Ibu.
“Ibu, sabar ya. Kalau Ibu terus begini Kak Melody tidak akan tenang disana.” Kataku sambil menenangkan perasaan Ibu, tetapi Ibu hanya diam dengan raut wajah dan tatapan kosongnya. Berhari-hari kujalani semua bersama Ibu, tetapi Ibu masih saja mengurung diri di kamar tanpa mau berbicara sepatah kata pun, parahnya lagi Ibu tidak mau makan. Aku kawatir dengan kondisi Ibu saat ini, semakin renta dan semakin rapuh pula semua sinkronasi dalam tubuhnya.
Tibalah aku pada malam dingin yang kelabu dengan hujan rintik-rintik membasahi rumput yang tidur mengikuti heningnya malam, saat itu aku sedang menyiapkan makanan untuk Ibu, setelah siap aku menuju kamar Ibu untuk membujuknya agar mau makan. Kulihat wajah Ibu begitu sayu dan bersih sekali, pemandangan itu membuat mataku basah dan kucoba membangunkan Ibu pelan-pelan. Tetapi Ibu tak kunjung bangun, aku berfikir Ibu sedang tidur dan aku merasa kasihan untuk membangunkannya saat ini.
Kulangkahkan kaki ke ruang depan, untuk sejenak kuulang dan kutulis lagi ingatan masa laluku bersama Kak Melody. Kuraih satu buku album foto keluarga mungilku, dan mencoba mengiris dan menyayat luka, luka akan kehilangan yang mendalam. Satu persatu lembar, foto demi foto aku perhatikan dengan perasaan campur aduk. Tidak sampai selesai mata ini mengilas balikkan semua, rasa kantukku ini mendera dan tak dapat kutahan. Aku terlelap dalam luapan perasaan dan emosi yang bergejolak gusar di dalam hati dan fikiranku.
Terbangunku dari mimpi malam yang sendu ini, kulihat sang surya sudah memberi isyarat untukku bergegas meninggalkan semua angan semuku, kuingat Ibu yang tertidur semalam, dan kutengok kamar kecil Ibu, Ibu tak kunjung bangun kucoba mendekatinya pelan dan kusentuh badan Ibu. Kurasakan dinginnya tubuh Ibu dan betapa pucatnya Ibu, aku cemas dan kulihat nafasnya pun tak berhembus, nadinya tak berdenyut. Dengan segera aku mencari pertolongan dan memanggil dokter yang sedang tugas di kampungku memeriksa bagaimana keadaan Ibu. Setelah diperiksa, beberapa menit dokter itu keluar dengan rona keputus-asaan dan dokter itu berkata,
“Ibumu sudah tidak ada, sudah meninggal dunia.” Kata Dokter,
Sambaran petir yang seolah-olah menyambarku ini muncul lagi dan lebih keras dan menyentak dari ujung kepala sampai ujung kaki, lebih dahsyat daripada dulu saat Kak Melody meninggal.
Emosi dan kekecewaanku akan ketidak-adilan Tuhan muncul dalam benakku, aku memaki Tuhan dalam hati, dan mengapa Tuhan selalu bersikap tidak adil padaku, hanyalah kesengsaraan yang Ia berikan dalam kehidupan fanaku. Aku tidak bisa menerima semua ini dan semuaya terasa semakin suram dan hening.
Diam dan diam yang hanya kulakukan, hujan air mata membasahi pipiku yang sudah basah dari tadi. Para tetangga berdatangan untuk mengucap bela sungkawa kepadaku, aku hanya diam dan selalu tanpa bicara, semua telah terkoordinasi oleh Ayahku. Ayah yang selama ini meninggalkanku telah datang dan kembali hadir disaat semuanya hilang, aku menyambut hangat kedatangan Ayah. Tetapi tak bisa kusembunyikan pula betapa dalamnya rasa kehilanganku akan sosok Ibu
Aku mengunci diri di kamar sambil terus menangis, melihat kebelakang apa yang dulu kulakukan pada Ibu? Membentaknya, melawan semua perkataanya, aku tidak tahu harus apa lagi, kini hanya sosok Ayah yang asing, yang selama aku membuka mata belum pernah sekalipun kulihat sosoknya.
Dekap lembut Ibu, tutur halus kakak selama ini, itulah yang berputar-utar di simpul-simpul otakku. Tiba-tiba kuingat akan perkataan terakhir Ibu. Akan kebahagiaan semu yang diberikan Ayah. Aku memutar otak apa maksud kebahagiaan semua dari perkataan Ibu kala itu, mengapa Ayah tiba-tiba datang ketika semua ini berakhir? Berjuta pertanyaan tentang Ayah memberondong otakku yang beku ini.
Berminggu-minggu Ayah tinggal dirumah ini dengan tanpa kasih sayang sepeser pun kepadaku, Ayah acuh kepada Almarhumah Ibu dan Kakak begitu pula kepadaku, yang Ayah lakukan hanya berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam. Kehadiran Ayah tidak membuat suasana jadi lebih baik malah sebaliknya. Sikapnya begitu buruk kepadaku dan membuatku berfikir ulang akan perkataan Ibu, apakah ini yang dimaksud “kebahagiaan semu” oleh Ibu?
Belum sempat aku berfikir panjang, tiba-tiba pintu depan terketuk, bergegas kubuka dan kudapati dua orang polisi berdiri gagah di depan pintu—terjadi lagi kejadian yang sama, dan kutanyai maksud kedatangan kedua polisi itu apa?
“Kami berdua kesini adalah menjalankan tugas untuk menangkap Bapak Sudiro—nama Ayahku, Bapak Sudiro terbukti sebagai pengedar narkoba dan pembunuh Kakak Anda.” Tegas polisi yang memegang surat tugas yang dipaparkan kepadaku.
Kaget bukan kepalang, ternyata yang menyebabkan semua ini terjadi berpangkal pada Ayahku sendiri, pertanyaan Ibu dan semua ujung-ujung pertanyaanku terjawab sudah. Semua karena Ayah. Ayah dan “kebahagiaan semu”nya. Ayah dan semua topeng dan sandiwaranya yang tertata rapih tanpa ada rasa curiga terbesit di fikiranku.
Polisi itu segera masuk untuk mencari keberadaan Ayah, tanpa banyak bicara Polisi itu menggelandang Ayah ke mobil polisi yang terpakir di depan teras. Ayah meronta seakan tak ingin diperlakukan tidak sopan seperti itu, Ayah meminta tolong padaku dan terus meminta, tapi aku hanya menahan kemarahan yang disebabkan oleh Ayahku, aku memalingkan muka dan kututup pintu serta semua kenangan singkat tentang Ayah dan “kebahagiaan semunya”.
Kini semuanya telah jelas, telah menemukan titik permasalahan. Semua karena Ayah, Ayah yang dulu selalu kubanggakan di depan Ibu, kupertanyakan keberadaannya. Kini ingin ku hilang ingatan tentang Ayah dan kubakar semua memori tentang dia. Mataku nanar dan sembab melihat semua kenyataan ini, serasa membuat sayatan luka dihati dengan pisau yang sangat lebar.
Aku ingin mengulang segalanya, segalanya yang telah direnggut oleh Ayah, semua yang telah kurenggut sendiri akibat kebodohan dan kecerobohanku, aku yang telah menghilangkan semua kebagiaan dan hari-hari terindahku, dan menggantinya dengan kebahagiaan semu dari sosok gelap Ayah. Kududuk disofa dan tiba-tiba ada seseorang yang mengingatkanku akan kotak hitam yang setengah mati dipertahankan kakak di detik-detik akhir hidupnya.
Kucari didalam almari Ibu, kutemukan kotak lusut itu dan dengan penasaran aku membuka bungkusan kotak itu perlahan dan ternyata isinya adalah Handphone yang selama ini kuinginkan, yang selama ini kutuntut pada Ibu. Perasaanku begitu tersentuh dan campur aduk ketika melihat handphone itu dan menambah intensnya air mata yang turun dari mataku.
Kubuka bungkusan selanjutnya, ternyata isinya adalah Lukisan, Lukisan Ibu, Aku dan Kak Melody, dan dibelakangnya tertera pesan:
Lukisan ini sengaja kugambar untuk adik dan ibuku tercinta
Lukisan ini kugambar dengan penuh goresan Cinta
dan torehan tinta kedamaian.
Hanya satu, hanya satu pesanku untuk Daka,
Jagalah Ibu dan tetap tegar menjalani setiap liku di harimu.
-Melody Kristina
Seusai membaca pesan terakhir dari kakak itu, tangisanku mencapai klimaks. Aku berpikir apakah aku bisa menjalani semua liku-liku dihidupku tanpa Ibu dan Kak Melody?
Suatu hari, saat fikiranku sedikit jernih, aku berfikir aku tidak bisa hanya dengan menangis dan berdiam diri. Ibu dan Kak Melody pun akan sedih disana jika melihat aku kehilangan pegangan hidup seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk setiap hari menulis dan menulis, aku curahkan semua isi dalam hati dan aku tuangkan semua hal dalam fikiranku itu kedalam suatu bentuk karya sastra, seusai menulis aku mengirimkan tulisanku ke berbagai tabloid dan koran. Aku ingin membuktikan kepada Ayah, tanpanya aku bisa hidup mandiri sekaligus kubuktikan juga kepada Ibu bahwa aku bisa menjalani semua ini dengan tetap tersenyum. Tak lama setelah aku mulai menulis, karya-karyaku sudah bisa diterima dan akhirnya menghasilkan juga pekerjaanku ini, walaupun tidak banyak hanya sekitar seratus sampai tiga ratus ribu per tulisan yang diterbitkan.
Setelah lulus SMA, aku diterima di salah-satu perusahaan tabloid sastra di Surabaya sebagai penulis cerpen dan puisi tetap. Dengan pekerjaanku ini aku bisa menyambung hidupku dan akan terus mengingat prinsip dalam hidupku, bersyukurlah atas sekecil apapun nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita walau hanya sebutir pasir. Dan janganlah sekali-kali berfikir Tuhan itu tidak adil karena sesungguhnya dalam setiap cobaan yang diberikan oleh-Nya kepada kita terkandung suatu pesan dan hikmah, pesan dan hikmah itulah yang harus kita cari dan kita jadikan pengalaman untuk selanjutnya menata hidup lebih baik.
Untuk sang pembawa tetes embun dan air mata rembulan.
Kubawa senyumku yang selama ini hilang.
-SELESAI-
Oleh: Andaka Rizki Pramadya