“Ahh.. bosen” dialog pertama Ari di hari yang sangat membosankan itu.
“Iya benar, gak ada yang asik dan nyenengin hari ini!” sambung Kira untuk mencairkan suasana.
Ya, memang hari ini adalah hari yang membosankan, hari Rabu; jadwal hari paling membosankan, pertama adalah jam pertama Kimia dengan guru yang beranatomi tubuh mungil tapi tersimpan jiwa monster yang sering memakan siswa yang tidak connect dengan pelajaran yang diberikan olehnya, yang kedua adalah agama—pelajaran dua jam seminggu tapi serasa setahun, karena si guru agama ini marah dalam tanda kutip di kelasku—dan yang ketiga adalah pelajaran Bahasa Jepang yang sangat membuat otak ini penting dengan beribu kata asing yang kadang lucu untuk di ucapkan bagi kami yang seorang pemula dalam pelajaran ini, sensei—baca= guru—Clara, wah inilah yang sangat membuat bulu kudukku menari hiphop, guru yang terkenal killer dalam tanda kutip.
Yah, itulah sekilas tentang kebosanan-kebosanan yang akan ku lalui sekarang esok dan seterusnya, untuk siswa yang agak cuek dan keren seperti aku, memang pelajaran yang membosankan adalah hal yang tidak akan nyaman bila kulakukan. Memang walaupun cuek dalam pelajaran yang membosankan, aku adalah seorang yang pandai bergaul di berbagai lingkungan, maka dari itu tak mungkin laki-laki seperti Boni Saputra tidak mendapatkan banyak teman.
“Konnichiwa..” sapa sensei Clara saat memasuki kelas kami dengan wajah cemberut.
Teman-temanku satu kelas serentak menjawab, “Konnichiwa tanaka sensei..”
Aku adalah siswa yang terakhir menjawab dengan terbata-bata, “Kon-chiwira”.
Tanpa aba-aba seluruh kelas menjadi riuh ramai, tertawaan teman-teman kepadaku tak sebegitu kuperhatikan. Sensei Clara meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya sambil menciutkan bibir menandakan semua siswa agar berhenti berbicara. Teman-temanku seketika diam tanpa suara, Sensei mengarahkan telunjuknya kearahku mengisyaratkan aku untuk segera menghadap ke depannya.
“Mengapa kamu menjawab salam saya dengan kata-kata lelucun macam itu?” Bentak sensei.
“Maaf sensei, saya fikir itu adalah jawaban yang benar. Saya tidak bermaksud untuk membuat lelucon.” Sanggahku.
“Saya sudah bosan dengan kelakuanmu, pergi ke luar kelas sampai pelajaran saya selesai, dan ingat jangan pergi ke kantin!” Perintah sesnsei dengan nada yang relatif tinggi.
“Baik sensei.” Dengan muka terlipat aku melangkah ke teras luar kelas untuk menghabiskan dua jam pelajaran dengan termangu tanpa sedikitpun kata-kata.
“Teng..Tengg..Tengg..” bel sekolah berdenting tiga kali tandanya pelajaran sensei usai dan waktunya untuk pulang.
Aku bergegas masuk ke kelas untuk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulang segala kesalahanku kepada sensei, setelahnya aku duduk di tempatku tadi sambil mengemasi barang-barang yang tercecer diataas meja.
“Bon, enak ya dikerjain ama Sensei?” Celoteh Kira.
“Enak palamu, malah tembah bosen di luar sana..” Bantahku.
“Eh sudah. Teman-teman aku punya ide, bagaimana untuk melepas penat kita pergi ke luar kota untuk sekedar melihat rindangnya pepohonan?” Ide Ari—tidak biasanya ia punya ide, padahal ia adalah siswa paling lemot.
Kira menyetujuinya dan menanyakan kapan akan berangkat ke luar kota. Ari menyarankan kepada kita untuk berangkat sekarang.
“Apa? Berangkat sekarang tanpa persiapan?” Sahutku dalam hati.
Mereka berdua menyeret dan memaksaku untuk ikut dengan mereka, yah harus bagaimana lagi aku tidak bisa menolak permintaan kedua sahabatku itu. Kira mengambil kontak mobil Honda Jazz warna hitamnya dan mengkomando kami agar cepat masuk ke dalam mobilnya agar dapat sampai ke luar kota tidak terlalu malam. Kami mengangguk dan langsung masuk. Kaki Kira relfleks menancap gas, dan mobil ber-plat nomor L-4790 KI itu melesat dari lapangan perkit sekolah ke jalanan yang seringkali macet.
Perlajanan kami terasa sangat menyenangkan karena banyak sekali lelucon yang kami buat untuk saling kami lontarkan satu sama lain, tiga jam perjalanan dari Surabaya ke Malang terasa sangat cepat, setelah sampai di depan villa milik Kira, kami bertiga turun dari mobil dan dengan cepat memekarkan hidung lebar-lebar untuk menghirup oksigen yang sudah lama tak kami hirup seleluasa ini di Surabaya. Mobil Kira di parkir di depan pohon akasia kuning di pojok villa. Mentari mulai menyalakan lampu oranye tanda akan datang petang, kami bertiga masuk ke dalam villa besar berukuran 8 kali 7 meter milik Kira. Kami memilih kamar masing-masing, Kira memilih kamar eksklusif yang biasa ia tempati sedangkan Aku dan Ari memilih kamar sedang yang biasa-biasa saja.
Jam berbunyi tujuh kali, menandakan waktunya untuk makan malam. Aku yang saat itu sudah siap langsung melesat ke meja makan, disana sudah tertata rapih daging steak, balado, dan sup jagung, untuk makanan penutup kali ini pelayan Kira menyiapkan salad buah kaya fla, hmm lezat untuk orang seukuranku yang relatif bernafsu makan besar. Makan malam ini seperti biasanya kami saling melempat lelucon yang jelek dan menyakitkan tapi itu sudah biasa kami lakukan jadi menurut kami itu biasa-biasa saja. Malam mulai larut tapi kami masih aktif bercanda di ruang tamu sambil main remi.
Jam dinding tua milik Kira berbunyi lagi, kali ini terdengar 12 dentuman.
“Oh astaga ini sudah tengah malam, ayo kita bergegas tidur. Bukankah kita akan berkemas besok pagi-pagi?” Ajakku.
“Halah, tenanglah sedikit ini baru permulaan” Sambil menyembunyikan tanggannya di belakang, Kira memunculkan wajah girangnya.
“Permulaan katamu? Apa maksutmu?” kataku penasaran.
Kira menyembunyikan dua botol berwarna hijau seperti botol sirup, aku faham apa isinya. Sebuah bir! Aku kaget, aku semakin panik setelah Ari berkata,
“Ayolah cobalah ini, kau kan tak pernah mencoba barang-barang seperti ini? Ini membuat kita enak! Cobalah Bon.” Kata Ari sambil menjulurkan botol berisi bir itu kepadaku.
Aku diam dan hanya menggeleng takut, aku memang cuek, aku memang sedikit berangasan tapi aku bukanlah orang yang suka berbuat aneh-aneh apalagi sampai minum-minuman keras seperti bir. Lima belas menit berlalu dengan penuh deraan bagiku mereka berdua minum minuman maksiat itu dengan tanpa dosa, mereka tetap memaksaku untuk meminum bir yang mereka tegak. Aku berontak dan beranjak dan menuju ke kamar, kukunci kamar langsung dan kupaksa kedua mataku untuk bisa tidur.
Berjam-jam Ari dan Kira tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka tertawakan, sesekali mereka mengetuk kamarku. Membujukku untuk iku dengan mereka, sekitar dua jam mereka bersenang-senang diluar akan tetapi mataku ini tidak bisa dikatupkan. Jam lima pagi tepatnya aku bisa tertidur.
Suara ketukan di pintu kamarku membangunkanku dari tidur singkatku.
“Siapa?” tanyaku.
“Pak Udin..” dengan suara khasnya.
“Kenapa pak?”
“Makanan sudah siap den..”
Makanan? Perutku tiba-tiba berbunyi “kruuuuk..”. Dari tempat tidur aku beranjak ke kamar mandi, berganti pakaian dan segera merapikan tempat tidur. Kudengar pintu kamarku di ketok lagi. Kali ini agak berbeda dengan suara ketukan pak Udin,
“Bon, cepetan kita gak bisa mulai makan tanpa kamu?” Suara serak Ari terdengar dari balik pintu.
“Yah sebentar!” Aku menjawab dengan sedikit membentak.
Aku keluar dari kamarku dan segera menuju ke ruang makan. Mereka semua sedang duduk berhadap-hadapan lalu memandangiku.
“Lama amat sih?” Tanya Kira.
“Yah..” Jawabku singkat.
Kami semua mulai makan tanpa ada lontaran lelucon hangat yang sering kami lakukan. Aku bingung dengan sikap mereka yang innocent terhadap kejadian kemarin. Aku pun tak perduli, setelah makan kupercepat langkah ke wastafel di sebelah pintu masuk ruang makan dan bergegas pergi dari ruang makan itu. Aku menuju ke taman untuk menghilangkan stress akibat tingkah laku sahabatku tadi malam. Aku bingung, mengapa mereka melakukan perbuatan maksiat itu. Setengah jam aku melamun di bawah pohon akasia kuning yang sedikit gugur daunnya. Tepat disebelah tempat dudukku adalah mobil honda jazz milik Kira.
“Greng..” Suara mesing dinyalakan.
Aku terkejut dan sigap berdiri tanpa aba-aba, ternyata mobil Kira yang berbunyi. Kira sudah berada di dalam dan melambaikan tangan kepadaku serasa mengisyaratkan tangannya kepadaku agar segera naik dan pulang. Aku kembali ke villa untuk mengambil tas ransel polo milikku dan berpamitan dengan Pak Udin yang sudah berada di depan pintu villa sambil membawa kunci.
Setelah berpamitan aku bergegas masuk ke mobil, aku duduk di jok depan dengan Kira yang sedang menyetir. Sama seperti di meja makan, kami tidak saling melontarkan lelucon apapun untuk mencairkan suasana. Entah, karena aku yang terlalu dingin ataukah mereka yang cuek. Mobil melaju cepat dengan AC yang disetel 27 derajat celcius. Kira menekan tombol untuk menyalakan music player. Kira memutar lagu dari Nidji, Arti Sahabat. Tetapi dengan tune yang rendah, jadi kami bisa menikmatinya tanpa harus berjingkrak-jingkrak.
“Hei kenapa kalian diam?” Kataku untuk sekedar intermezzo.
“Ah gak apa-apa! Kami hanya ingin diam!” Kata Ari sontak dari sandaran joknya.
Tiga jam perjalanan dari Malang ke Surabaya tanpa sedikitpun lelucon membuatku bosan dan memutuskan untuk tidur saja. Tiga jam begitu lama, entah mengapa biasanya tiga jam adalah waktu yang singkat bagi kami jika bersama.
“Eh, bangun Bon. Kita sudah sampai.” Kata Kira sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Hmmm..” dengan nada khas jika bangun tidur.
Aku membuka mata perlahan-lahan dan kulihat Kira sudah berdiri di depan mobil sambil menggosok-gosok kepalanya seperti biasanya. Aku keluar dari mobil dan mengucapkan terimakasih kepada Kira atas liburan kemarin. Ari datang dari selatan dengan membawa tiga botol minuman energi untuk kami.
“Hei, Bon!” ucap Ari sambil menepuk pundakku.
“Apa?”
“Kami ingin minta maaf padamu!” Sambung Kira.
“Untuk?”
“Untuk perbuatan kami kemarin!”
“Apa kalian barusan sadar? Itu perbuatan maksiat!” Kataku dengan nada yang meninggi.
Terbesit muka menyesal dari Kira dan Ari tetapi hilang seketika digantikan wajah lucu dari raut muka mereka,
“Kami hanya mengetesmu Bon!” kata Kira.
“Mengetes?” Tanyaku bingung.
“Yah..” jawab Ari singkat.
“Begini..” celoteh Ari sambil mengambil nafas, “Kemarin botol hijau yang kami minum memang botol bir, tetapi isi dari botol itu bukanlah bir itu hanyalah air minuman isotonik yang baunya sama persis seperti bir.”
“Apa?” Raut mukaku berubah jadi raut muka aneh, “Lalu, mengapa kalian tertawa-tawa saat aku pergi ke kamar seperti orang mabuk?”
“Oh itu, kami sedang menonton DVD film The God must be Crazy kesukaan kita.” Jawab Ari.
Kira membusungkan dada, “Nah ini semua skenario yang aku buat sendiri!”
“Lalu, tujuan kalian melakukan ini untuk apa?” Tanyaku bingun dan semakin bingung.
“Tujuan kami hanya ingin mengetahui, bagaimana jika sahabatmu sedang melakukan kegiatan yang salah atau menyimpang. Apakah kamu akan mengikuti mereka dengan alasan persahabatan?” Jawab Ari panjang lebar.
“Yah, ternyata kamu memang benar-benar seorang sahabat yang baik!” sambung Kira.
“Selalu mengingatkan jika sahabatmu salah dan berani berkata TIDAK!”
Otakku sedikit demi sedikit bisa mencerna kata-kata meraka,
“Oh..” kataku yang barusan mengerti.
“Dasar LEMOT!” kata mereka serentak sambil mengacak-ngacak rambutku.
Kami pun tertawa bersama-sama dan saling membuat lelucon lagi seperti dulu dan akhirnya kami pun tahu apa arti sebenarnya dari Sahabat itu dan betapa kuatnya Arti Persahabatan.
Oleh: Andaka Rizki Pramadya
0 comments:
Post a Comment