Audisi, Babak Kedua

“Aku mati rasa, Ketika kau bersamanya. Tak ada lagi perasaan.. Tak bisa lagi kumerasakan, Cinta”

Di Balik Kebisuan Pantai Rindu

wajah kebule-bulean membuat hati Nina semakin berdegup tak menentu. Beberapa detik setelah itu suara bariton dari pria itu memecah keheningan,

Friendship’s Power

“Apa?” Raut mukaku berubah jadi raut muka aneh, “Lalu, mengapa kalian tertawa-tawa saat aku pergi ke kamar seperti orang mabuk?”

Sexy Girl

Tampil fashionable menjadi efek samping yang terbentuk secara tidak langsung. Cermin menjadi salah satu hal wajib kunjung setiap saat karena kita sudah mulai terjangkit virus narsisia.

Torehan Penyesalan

Kucoba kembali mengulang, mengupas luka yang tersasat dalam, saat itu terpatri tajam dalam ingatan aku mengamuk seperti kerasukan membuang apa saja yang bisa kubuang, mendobrak apa saja yang bisa ku dobrak, memukul apa saja yang bisa kupukul, semua karena aku merasa kurang, segalanya kurang hidupku, kebutuhan sekunderku pun jarang sekali terpenuhi.

Monday, May 9, 2011

Selingkuh ... Benar ato Pembenaran?

Rasanya semua cewek pasti tau yang namanya selingkuh. Ada yang merasa di selingkuhin ato malah sekarang lagi selingkuh. Sebelum berkepanjangan mari kita tilik arti selingkuh. Dari kamus bahasa Indonesia bisa mempunyai banyak arti, mulai dari : tidak jujur, menyembunyikan sesuatu, curang, serong, tidak menjaga komitmen dan lain sebagainya pasti kamu bisa mengartikannya sendiri girlz.


Sebenarnya selingkuh adalah dampak atau akibat dari suatu hal yang terjadi dalam proses perjalanan menjalin hubungan dengan pasangan kita. Saat melakukan hubungan dengan pasanganmu girlz, pasti lambat laun kita akan mengenal pasangan kita. Karena proses inilah kita jadi tau bagaimana kebiasaan si dia, apa kesukaannya, hobbynya, bahkan apa yang di bencinya. Lantas kita juga tau kelebihan dan kekurangan si dia.

Saat kita sudah mengetahui kelebihan dan kelemahan mereka, bisa jadi kita menimbang rasa kepada si dia. Semakin sayang jika kita bangga dengan kelebihan si dia. Namun celakanya jika yang menonjol adalah kelemahannya. Bisa beberapa lama kita memikirkan kenyataan ini.

Rasa tidak puas terhadapnya akan memberikan beberapa pilihan untuk kelanjutan hubungan berdua. Pilihan pertama adalah mengakhiri hubungan walaupun salah satu pihak belum tentu menerima keputusan ini. Yang ke-dua adalah bicara terus terang tentang kelemahan dari si dia dan mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Yang berikutnya adalah selingkuh dengan menjalin hubungan dengan yang lain, yang mungkin bisa menambal kelemahan si dia.

Menambal? ya kata itu mungkin sangat tepat. Karena selingkuh sangat kerap terjadi karena rasa tidak puas dengan pasangan namun tidak ingin memutuskan hubungan sampai waktu yang belum bisa di tentukan. Dengan selingkuh, bisa jadi menemukan sosok ideal yang tidak bisa terpenuhi oleh pasangan kita.

Beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan untuk selingkuh :
  • Fisik si dia (kurang cakep, kurang berisi bodinya ato hal lain tentang fisik)
  • Wawasan si dia (daya pikir yang dangkal)
  • Materi si dia (wah kalo ini menyangkut harta benda)
  • Perlakuan si dia kepada kita (romantisnya, mesranya, kejutannya ato yang ekstrem mungkin cara bicara dia yang kasar, suka memaki, dan mungkin terkadang melakukan kontak fisik yang menyakiti)
Dari hal-hal di atas yang sering terjadi adalah karena perlakuan si dia kepada kita. Jika si dia mulai kasar kepada kita namun kita tidak berani tegas untuk mengatakan rasa tidak suka dengan perlakuannya, maka perselingkuhan sangat kerap terjadi.

Jadi perselingkuhan itu benar ato hanya pembenaran dari tindakan kita, kamu saja yang menentukan

Saturday, May 7, 2011

Ibu

Sosok penting bagi kehidupan kita. Seorang wanita yang sangat kita cintai. Cinta kasih yang tak terbatas selalu di curahkan untuk kita. Dan banyak lagi hal-hal istimewa yang merupakan sifat alami seorang ibu.

Beliau selalu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk kita selak anaknya. Tak peduli walau beliau dalam kesusahan, seorang ibu selalu berusaha untuk tersenyum agar kita tidak di rundung serta ikut serta dalam kesedihan beliau. Sungguh mulia sifat ibu kita.

Rasanya jika tidak ada ibu tak ada cinta di hati kita. Keinginan seorang ibu adalah untuk kebahagiaan kita sebagai anak. Tak jarang kita membuat sang ibu menangis, namun tak sulit untuk mendapatkan maaf dari beliau.  Hingga saat terakhir sang ibu masih mencoba untuk tersenyum agar tak ada kesedihan untuk anaknya.

Oh ibu, aku cinta dan sayang engkau.

Monday, May 2, 2011

Jeritan Sang Akasia Kuning



hari ini esok dan seterusnya
didalam relung ini kurasa, cinta yang menusuk dalam
membunuh setiap syaraf perasaku,
merusak setiap jaringan perasaan yang ku punyai

hanyalah deruan angin malam, menemani setiap alun musik yang didendangkannya
merubah setiap rasa menjadi duka
menggubah sebuah alun indah jadi luka
apakah kau dapat merasa

indahnya cinta berubah luka
karena setiap langkah dihidupku membuatmu kecewa
jalan ini yang kupilih, tapi kusesali
dibawah rindangnya pohon akasia,
menguning dan bergugur, mengikuti dera hatiku

dalam persinggahan singkatmu ini,
ku mencoba menorehkan sedikit rasa,
rasa akan bahagia, bukanlah ini
sesal dan duka yang kuberi..

maafkan aku,
sekarang hanya dapat kutulis,
tanpa bisa berucap,
kuharap, daun kuning ini..

catatan kecil ini dapat terbang
melintasi ruang mengarungi waktu
dan berhenti, berhenti dihadapanmu
mataku sedikit nanar, hingga menutup setiap kenangan

kenangan indah,
hitamnya luka, menutupi indahnya cinta..
cintaku tak berbalas
hanya yang setia, yang merasa
keringnya daun terurai,

luruhan air mata sedih dan bahagia
menjamur di setiap jengkal hatiku..

untuk pembawa beku embun
dan air mata rembulan
sungguh tiada setumpuk permata
mengganti setiap sesal

untuk diriku dan dirimu
di alam sana..

Oleh: Andaka Rizki Pramadya

Thursday, March 24, 2011

Audisi, Babak Kedua



“Peserta nomer 28, silahkan masuk ke ruangan!” seru petugas pintu masuk audisi.
Aku yang saat itu setengah grogi, berjalan masuk ke tempat audisi dengan langkah setengah berat. Sebelum aku membuka pintu ruang audisi aku mencoba menghilangkan perasaan grogiku dengan sedikit berdehem.
Kubuka pelan pintu audisi itu hingga terdengar suara pintu berdecit, suhu ruangan di dalam dan di luar ruang audisi begitu berbeda. Di dalam ruang audisi terasa begitu dingin karena AC yang dinyalakan maksimum. Tetapi sapa hangat para juri membuat suasana lebih mencair,
“Selamat sore,” sapa juri wanita dengan rambut dikepang satu. “Silahkan perkenalkan diri anda.”
Aku membalas dengan senyuman, “Perkenalankan para juri, saya Claire, Claire Clarrisa. Saya berumur enam belas tahun dan saya belum punya dedikasi yang berarti di bidang tarik suara.”
“Baiklah,” sambung juri kedua. “Silahkan pertunjukkan aksimu!”
Aku mulai mengatur nafas lagi dan mencoba mengambil nada awal Do. “Do….” Dan kumulai sebuah lagu pilu dari Dewi Sandra, Mati Rasa. Dan kumulai bernyanyi dari Reference:
“Aku mati rasa,
Ketika kau bersamanya.
Tak ada lagi perasaan..
Tak bisa lagi kumerasakan, Cinta”

“Stop..” Juri ketiga menghentikan nyanyianku.
“Baiklah kami akan memutuskan anda lolos atau tidak nanti, sekarang silahkan anda keluar.”
“Terimakasih..” Dan aku bergegas pergi dari ruang audisi.
Keluar dari ruang audisi, aku disambut dengan suara-suara yang tak pernah asing di telingaku. Yah suara dari Shinta, sahabat karibku. Dia adalah soprano terhebat di sekolah, meskipun begitu ia tidak pernah sombong atas predikat yang diberikan kepadanya. Ia pun tak malu mengajariku untuk memantapkan segala kebutuhanku dalam bidang tarik suara, meskipun aku hanya seorang messo-sopran yang kurang mantab power dan kurang lebar ambitus suaranya.
“Hei,” sapa Shinta. “Bagaimana didalam?”
“Entahlah”
Kami berdua pergi dari depan pintu ruang audisi ke ruang tunggu, di perjalanan kami bertemu dengan dua orang wanita, dan kebetulan mereka adalah teman sekelasku. Kirana dan Nichole, tak kusangka mereka juga ikut audisi ini. Mereka berdua adalah orang yang sombong, selalu egois dan tak pernah bisa bergaul dengan orang lain yang tidak sederajat dalam tanda kutip dengannya.
“Hei Kir, Chol.”
Mereka hanya membalasnya dengan senyuman jutek yang biasa mereka lontarkan padaku.
“Kenapa mereka berdua?” Tanya Shinta.
“Yah begitulah mereka, sombongnya minta ampun!”
Aku mengangkat bahu.
Ku lihat di raut muka Shinta tersirat perasaan bingung terhadap Kirana dan Nichole, tetapi sudahlah. Kami berdua sampai di ruang tunggu dan segera mencari tempat duduk. Aku melihat tempat duduk di sudut ruangan dengan sandaran empuk yang nyaman. Segera kududuki, dan melambaikan tangan pada Shinta mengisyaratkan agar duduk bersamaku disini.
Shinta mengerti sambil mengacungkan jarinya membentuk huruf O dan segera menghampiriku. Aku segera memulai pembicaraan hangatku tentang tata cara dalam tarik suara. Shinta menjelaskan panjang lebar dengan menggebu-gebu, aku pula bersemangat jika mendapatkan pelatihan teori maupun praktek darinya, karena ia sangat imanijatif. Tak lama setelah itu, aku tertegun sejenak dengan pandangan kosong.
“Hei, kamu ngelamun yah?” sambil melambaikan tangan kecilnya kedepan mukaku.
Aku sontak kaget dan refleks menjawab, “Enggak kok aku cuman kagum saja sama kamu!”
“Kagum? Denganku? Aku bukan Adolf Hitler yang bisa kamu kagumi karena kelicikanku.”
“Memang, tapi kamu sudah menjadi sumber inspirasi dan motivasiku di bidang tarik suara ini.”
“Ah, kau sangat berlebihan.”
“Tidak,,” pembicaraan kami terpotong karena mikrofon pusat dari ruang tunggu berbunyi,
“Mohon perhatian!” kata suara itu.
“Sebentar lagi kami akan memberitahukan siapa yang akan lolos kebabak selanjutnya.”
“Yang pertama nomor, 6, 9, 15, 16, 22, 28..”
Aku langsung berdiri dari tempatku duduk dan melompat-lompat kegirangan. Shinta melihatku dengan senyum bangga karena hasil kerja kerasnya tidak sia-sia
“31, 35..”
Terdengar riuh dari tengah ruangan, ternyata Kirana dan Nichole, mereka juga lolos. Ah mengapa aku memikirkannya, mereka akan jadi sainganku di babak selanjutnya.
Setelah usai acara itu, diumumkan bahwa babak selanjutnya akan diselenggarakan minggu depan. Tetapi sialnya aku mendapat kelompok grup bersama Kirana dan Nichole. Aku lihat dari kejauhan muka mereka dilipat karena mendapatkan teman grup dengan aku.
“Tak usah kau perdulikan, yang harus kamu konsentrasikan itu hanyalah menjalin kekompakan dengan mereka jika ingin menang!” kata Shinta dan sambil berpamitan Shinta pergi dengan motor pinknya.
Aku menghampiri Kirana dan Nichole,
“Hai teman-teman. Bagaimana ini jadwal latihannya? Kapan dan dimana?” sapaku hangat.
“Ah kami nggak tahu urus aja sendiri.” Cetus Nichole, “Kami pusing!”
Aku diam. Merasa tak dihargai. Aku mencoba menyusun jadwal untuk mereka, dan jadwal pertama gagal, jadwal kedua gagal, jadwal ketiga apalagi gagal total. Aku hamper menyerah menghadapi mereka. Mereka tidak bisa satu visi denganku.
“Nah ini cocok!” Kata Kirana.
“Baiklah inilah jadwal kita, latihan hari Senin, Selasa dan Jum’at.” Jelasku.
“Oke” Mereka berdua serentak menjawab.
Aku menenteng tas ranselku dan berpamitan untuk pulang dari tempat audisi, aku mengambil helm putih bergambar bunga daisy milikku dan segera mengambil motor matik-ku di pelataran parkir. Kutancapkan gas, aku berkendara pelan dan memang kusengaja karena aku telah berhasil membangun keakraban dengan mereka yang sombong.
Selang beberapa menit mengarungi jalanan, aku sampai di depan kosan. Disana berdiri sesosok tubuh menghadap ke pintu rumah, berambut pirang ikal dengan sepatu boots berhak 5 sentimeter. Dan aku sangat mengenal sosok itu, Shinta.
“Shin..” sapaku dari belakang.
“Hai, aku berniat membantumu membuat partitur lagu yang akan kalian nyanyikan.”
Aku mengangguk.
Kami berdua menaiki tengga kosan sampai di lantai dua kamar nomer 15. Kami masuk dan segera mempersiapkan segalanya. Organ milikku, sebuah kertas dan suaraku tentunya. Setelah beberapa menit setelah permulaan kami mendapatkan partitur yang tepat untuk kunyanyikan minggu depan.
Didadaku Ada Kamu milik Maia.
Kami menyusun semuanya mulai dari suara sopran, messo, sampai ke nada altonya. Kami mencoba menyanyikannya dan merekam hasil nyanyian kami dengan menggunakan tape recorder dan hasilnya Walla.. Indah komposisinya.
“Aku siap untuk latihan Senin besok!”
Kirana mengangguk dan tersenyum, lalu berpamitan untuk pulang. Aku mengiyakan sambil mengantarnya ke depan kosan.
Aku masuk ke dalam kamar 3x4ku sambil membaca sekilas partitur yang kami buat tadi. Beberapa menit kubaca mata ini sudah memberontak untuk diistirahatkan jadi segera kutata tempat tidur dan kutempati agar bisa cepat sampai ke alam mimpi yang indah.
Esok paginya, setelah aku membersihkan diri. Aku segera memakai tas ransel komprang berwarna cokelat mudaku dan melucur ke tempat latihan. Ya, rumah Kirana. Rumah gedong besar berpagar otomatis dan berornamen minimalis tetapi sangat megah. Rumahnya terletak di kompleks perumahan elite dan kompleks perumahan para pengusaha di kotaku. Memang ayahnya adalah mempunyai rumah produksi yang lumayan terkenal. Mungkin itulah yang membuat ia jadi sangat sombong. Aku yang orang biasa-biasa saja, yang tinggal di kos-kosan menengah sepertinya tak layak menampakkan diri disana, tapi sudahlah semua demi cita-cita menjadi penyanyi terkenal.
Aku melangkah sedikit cepat di depan pintu gerbang perumahan yang bertuliskan “Western Village” bergaya tulisan zaman Inggris tahun delapan puluhan. Pertama kali memasuki gerbang pertama aku tak kaget melihat disanasini terpatri rumah-rumah elite berornamen klasik seperti di gerbang utama. Di blok B terpampang rumah-rumah yang bernuansa hijau—ya mungkin rumah para aktifis global warning, haha. Di blok C dan inilah mungkin rumah Kirana, rumah bergaya minimalis berjejer rapih dari nomor 1 sampai nomor 20. Kulihat sepanjang jalan terparkit mobil-mobil mewah milik pemilik rumah masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara lembut yang berteriak di nada F#.
“Hei,” teriak suara itu.
Kulihat dari kejauhan, dengan rambut dikepang satu dan memakai boots warna merah, ya langsung ku kenali sosok itu. Kirana.
“Haii.”
“Mari masuk ke studioku!”
Studio? Batinku bergetar, andai aku mempunyai studio sendiri.
“Yah.”
Aku melangkah masuk ke Studio Kirana di sebelah persis rumah gedongnya. Aku masuk dan terasa perbedaan suhu di dalam dan di luat studio. Disana terpampang begitu banyak alat-alat musik, mulai dari gitar, organ, drum sampai harpa klasik pun ada di studionya. Disana juga telah hadir, guru vokal yang sangat ku kenal. Pak Yakob, guru vokal paduan suaraku ketika SMP dulu. Terjadilah nostalgia kecil disana, aku bersenda gurau khas dengan Pak Yakob yang sering kulakukan dulu waktu saat lomba paduan suara tingkat provinsi.
Nichole menepuk-nepukkan kedua tangannya, “Cukup sudah nostalgianya.”
“Bapak saya bayar bukan untuk mengobrol dengan Claire, tetapi untuk membuat kami menang lomba Senin depan!” bentak Kirana sambil mengerutkan dahinya.
“Maafkan saya,” jawab Pak Yakob.
Ya latihan membosankan dengan banyak konflik disana, aku yang paling sering salah menembak nada-nada yang sangat rendah dan yang sangat tinggi. Mungkin karena ambitus suaraku yang Messo-Sopran. Tetapi Pak Yakob menoleransinya. Setelah beberapa kali gagal dalam menembak nada, aku duduk di pojokan studio sambil melihat jam. Astaga!!! Sudah tiga jam aku berada di Studio ini untuk latihan. Di tengah lamunanku aku teringat akan partitur yang kubuat bersama Shinta kemarin malam. Kurogoh tas komprangku dan kucari-cari kertas partitur lecek milikku. Ketemu. Kuberikan kepada Pak Yakob dan aku berpamitan untuk pulang. Kukendarai sepeda matik milikku dan langsung beranjak dari kompleks perumahan elite itu.
Tiga puluh menit perjalanan perjalanan kugunakan untuk melamun. Melamun, apakah aku bisa berhasil di audisi babak kedua ini? Aku sama sekali tidak bisa membentuk chemistry dengan teman satu grupku, apakah aku harus mundur dari grup mereka? Oh Tuhan aku bingung. Apakah yang benar dan harus kulakukan? Aku dilemma Tuhan. Apakah menyanyi bukan jalanku? Jika bukan, apakah jalan yang kau berikan padaku?
Sepeda motor matikku, sampai di depan kosanku yang sudah terlihat lengang mungkin karena hari libur. Banyak yang pulang kampung ke daerah masing-masing. Aku menaiki tangga dan masuk kedalam kamarku. Letih sekali rasanya badan ini setelah tiga jam bernyanyi di dalam studio Kirana. Kutidurkan tubuh besarku ini di atas ranjang tanggung bersprei motif bunga berwarna kuning dan kuharap aku segera berselancar ke dunia kapuk yang indah dan bisa kuatur sebagaimana adanya.
Di dunia kapuk memang sangat nyaman, tetapi hanya sesaat indahnya kurasa. Mentari pagi yang membuat mataku nanar telah menghilangkan indahnya mimpiku. Mimpi menggelar konser tunggal yang disaksikan berjuta-juta penonton. Mimpi hanyalah mimpi dan tak akan jadi nyata.
Mentari telah membangunkanku untuk menghadapi dinamisnya dunia nyata. Segera kubangunkan tubuhku yang setengah sadar, kutuntun menuju kamar mandi untuk mengembalikan tenaga aku bergegas mandi dan kulihat kearah jam dinding. Ternyata jam sudah menunjuk ke angka 8 pagi.
“Wah aku telat latihan!” kataku di dalam hati.
Segera kupercepat semua kegiatanku dan melesat menuju motor matikku. Kutancap gas sampai ke batas maksimum untuk mengejar waktu. Lima belas menit—lebih cepat dua kali daripada biasanya—waktu yang kubutuhkan untuk menuju ke rumah Kirana. Cukup singkat memang. Kulihat dari kejauhan tampak wajah merah padam Kirana. Mungkin karena menungguku cukup lama.
“Hei,” bentaknya “Kamu punya jam gak sih dirumah?”
“Maaf aku tadi kesiangan bangun,” aku menjawab sambil menunduk.
“Sudahlah!”
Kami pun masuk ke dalam studionya. Di dalam sudah menunggu dengan muka dilipat. Nochole duduk di depan organ sambil memainkannya kecil-kecil. Melihat kehadiranku ia berhenti bemain dan melihat kearahku tajam. Aku yang saat ini merasa bersalah malah makin merasa bersalah.
“Maafkan aku!”
“Yah.. Terserah kamu lah,” ucap Nichole dengan nada yang tinggi.
Latihan ini terasa sangat mengasikkan. Partitur yang kubuat ternyata cocok untuk setiap jangkauan nada setiap dari kami. Pak Yakob pun terlihat lebih rileks mengajar kami. Hari ini latihan yang membuat chemistry di antara kita tumbuh dan seakan bersemi.
Matahari telah menggelincirkan diri ke Barat. Latihan kami pun usai. Dengan raut wajah letih kami saling berpandangan dan saling memotivasi satu sama lain. Di dalam benakku, apa yang membuat mereka berubah? Apakah karena partitur yang kubuat bersama Shinta? Begitu banyak pertanyaan tapi sudahlah, yang penting saat ini adalah mereka telah berubah dan semoga ini awal yang baik untuk karirku mendatang.
Waktu berjalan begitu cepat, kami pun telah siap untuk menghadapi audisi babak kedua nanti siang. Aku yang pagi-pagi sekali sudah bangung bergegas menancap gas menuju ke rumah Kirana untuk make-up. Tiga puluh menit seperti biasa kulalui dari rumahku menuju ke kompleks elite Kirana. Tibanya di gerbang, aku disambut muka riang dari Kirana dan Nichole, hal yang tidak biasa memang tapi biarlah itu semua berkat Shinta. Terima kasih Shinta kau memang sahabat terbaikku.
Jam berbunyi sebelas kali, tandanya kami harus berangkat ke tempat audisi yang kebetulan dekat dengan rumah Kirana. Kami semua menuju mobil sambil membawa peralatan make-up kami. Mobil Alpart abu-abu bernomor polisi DK 3345 KI itu melesat kencang menyusuri jalanan mengejar waktu. Tepat pukul 11.15 kami sampai di depan gedung tempat kami audisi. Jantung kami terasa begitu berdegup kencang. Kami sangat grogi. Kami menuju ke tempat pendaftaran ulang dan kami mendapat giliran nomor 2 setelah grup bernama Marriposa yang bisa dikatakan sudah andal dalam urusan tarik suara. Tetapi, kami tetap optimis dan yakin bahwa kami bisa.
“The Klaniki,” petugas pendaftaran memanggil kami.
Kami beranjak dari tempat duduk kami dan melesat menuju ke ruang audisi. Jantungku dan teman-teman begitu terasa berdetak keras. Kami masuk ke ruang audisi yang begitu besar itu dengan langkah kecil-kecil yang cepat. Aku berdiri di tengah di depan mikrofon gantung yang disediakan panitia.
“Perkenalkan diri kalian,” kata juri perempuan yang mengaudisiku pada audisi babak pertama.
Kirana mengambil ancang-ancang untuk menjawab, “Baik, kami dari The Klaniki.”
“Kami disini untuk mengguncang dunia dengan simfoni dan nada yang kami buat!”
“Kami adalah tiga wanita yang akan membuat dunia tercengang!”
“Baik,” potong juri. “Pertunjukkan suaramu!”
Kami mulai dengan suara Alto milik Kirana yang menyanyikan,
“Didadaku,” dengan satu not lebih rendah daripada aslinya.
Kemudian aku lanjut dengan suara messo yang kupunya.
“Ada senyummu,” dengan nada F#.
“Ada cintamu,” suara sopran-sopraneno milik Nichole yang khas membumbui aksi kami.
Dan begitu selanjutnya hingga akhir dari penampilan kami, yang kami suguhkan dengan pecah suara yang begitu indah di atas panggung ruang audsi yang membuat para juri memberikan standing applause kepada kami.
Ketiga juri berunding untuk menentukan hasil dari kerja keras kami. Setelah lima menit bergulir panas, salah satu juri membuka pembicaraan,
“Baik, setelah kami rundingan maaf. Anda akan berhenti disini.”
Terbesit muka sangat kecewa dari wajah kami.
“Tetapi, kalian akan lanjut ke Jakarta untuk membawa nama baik kota kalian.”
Kami secara bersamaan melompat kegiraan di atas panggung, kami meneteskan air mata bahagia. Semua seperti mimpi-mimpiku di dunia kapuk menjadi penyanyi di sebuah panggung megah. Tapi mimpi itu akan menjadi kenyataan sebentar lagi!
Setelah sedikit merayakan di depan para juri, kami pun mohon pamit dan mengisi persetujuan mengikuti babak penyisihan nasional di Jakarta. Kami semua setuju. Kini aku tahu, betapa berartinya masa ini, masa dimana ketidakharmonisan yang sangat besar menutupi setiap keselarasan. Akan bisa diruntuhkan dengan berusaha membangun keselarasan itu dengan beribu cara. Sebuah lantunan melodi dari Audisi Babak Kedua..


Oleh: Andaka Rizki Pramadya

Tuesday, March 22, 2011

Di Balik Kebisuan Pantai Rindu

Sembari menikmati senja di pantai kota itu, Ia menulis lembaran pertama buku laporan perjalanannya di kota kecil berpanorama eksotis itu. Nina, lebih tepatnya Nina Christly seorang gadis belia berumur 16 tahun yang baru saja pindah ke kota kecil itu, sedang duduk diatas batu besar yang memecah ombak di tepi pantai. Dengan berpenampilan sedikit cuek tapi berparas cantik ia berdiam diri sejenak menyaksikan ombak yang berkejaran di laut lepas sambil diterpa biasan sinar oranye mentari sore. Setelah ia puas, gadis berambut pirang itu akhirnya mulai menggoreskan tinta di lembar buku laporannya.
“Aku mulai kehidupan baruku, dan berikrar di atas pangkuan batu dan didepan sapuan ombak..” kata-kata pertama yang ia tulis, ditulis dengan beribu harapan yang baru di kota kecil itu.
Sore telah berpulang dan gelap menggantikan, Nina mulai beranjak dari tempat duduknya dan pulang untuk rehat dan menyusun prospek baru di kota barunya ini. Berjalan menyusuri pantai yang tak begitu luas itu merupakan pengalaman yang berkesan di benak gadis mungil itu, terlena dengan indahnya pantai, matanya tak awas dan tak sengaja menginjak bulu babi,
“Aww..” ia meraung kesakitan dengan suara khasnya
Beberapa menit setelahnya, sambil berjalan terseok ia mulai kehilangan kesadarannya, ia berjalan sempoyongan ke kanan dan ke kiri dan klimaksnya ia jatuh di bawah rimbunnya pohon kelapa. Entah berapa lama ia tertidur dan entah bagaimana nasibnya.
Tetapi, perlahan ia mendapatkan kembali kesadarannya dan mulai beranjak bangun dari tempat ia tertidur, dan betapa kagetnya ia melihat tempat yang ia tiduri adalah kasur springbed dengan ukiran kayu jati di kanan kirinya.

“Hah? Dimana aku? Bagaimana aku bisa berada disini? Bukannya aku tadi di pantai?” beribu pertanyaan diberondongkan ke dirinya sendiri
Dengan sopan ada seseorang yang mengetuk pintu kamar itu, “tok..tok..”
Kemudian seseorang itu masuk, sambil membawa sepiring makanan yang lezat. Nina mulai mengekspos struktur tubuh pria itu dari kaki sampai ke badan dan dari badan berhenti di wajah,
“dek..” serasa jantung Nina berhenti berdetak.
Setelah melihat paras nyaris sempurna dari sosok laki-laki yang berdiri di depannya itu, dengan rambut dan pupil cokelat dan kontur wajah kebule-bulean membuat hati Nina semakin berdegup tak menentu. Beberapa detik setelah itu suara bariton dari pria itu memecah keheningan,

“Maaf mbak, mbak sudah siuman. Ini mbak saya bawakan sedikit makanan untuk mengganjal perut mbak yang mungkin sudah minta diisi” kesopanan dan lembut suaranya semakin membuat irama pompa jantungnya semakin cepat.
Nina menjawab dengan sedikit gagu, “a..a.. terimakasih ya mas”.
“Ngomong-ngomong nama mbak siapa ya? Dan kenapa bisa tidak sadarkan diri malam-malam di pantai? Mbak orang baru disini ya?” sambung pria tegap itu.
“Nama saya Nina, tadi tidak sengaja kaki saya tersandung bulu babi saya tidak tahu racun bulu babi bisa membuat manusia tidak sadarkan diri. Iya mas saya orang baru disini. Oh ya nama mas siapa ya kalau boleh tahu?” ia menjawab sambil melontarkan pertanyaan balik.
“Nama saya Nicholas, panggil saja Nico. Kebetulan saya pendatang tapi sudah sekitar lima tahunan bekerja disini.” Balasnya dengan melontarkan senyum simpul dari wajah manisnya.
Tak berapa lama setelah banyak pembicaraan ringan, Nina pamit untuk pulang ke rumahnya di sudut kota, tetapi Nico melarangnya untuk pulang sendirian. Nico punya inisiatif untuk mengantarnya sampai kerumah. Nina sekali lagi terkagum dengan sifat lelakinya yang begitu kental. Nina menyetujui permintaan Nico dan segera mengantarnya pulang dengan motor gede miliknya.
Sampai disudut kota itu, tepatnya di depan rumah berlantai dua dengan kesan minimalis milik Nina, Nico menurunkannya dari sepeda dan mengucapkan salam. Nina hanya membalas dengan senyum dari wajah mungilnya sambil berkata,
“terimakasih Nico,”
Nico membalas senyumannya dan langsung hilang dibalik kabut malam yang terasa begitu romantis malam itu. Di dalam benak Nina ia sangat berharap bisa bertemu lagi untuk kesekian kalinya dengan lelaki itu.

Nina masuk kedalam rumah, dan menaiki tangga sambil terseok karena luka karena racun bulu babi sore tadi membuat kakinya agak mati rasa. Ia menuju kamarnya sambil sembari membersihkan diri, setelah menyisir rambut bergelombangnya ia sadar jam berapa sekarang, secepat kilat ia menoleh ke arah jam dinding, betapa kagetnya ia melihat jam sudah menunjuk angka dua belas malam dan ia belum menyusun prospek kerja di kota barunya sedikitpun.
Sesegera mungkin ia bangkit dari lamunannya dan menuju ke meja belajar klasik milik kakeknya dulu, ia meraih pensil dan buku laporan kerja yang ia bawa ke pantai sore tadi dan mulai menulis,

“hari pertama gatot, hari kedua harus bisa mendapatkan hasil..” kalimat sugesti yang ia buat membangkitkan semangat kerjanya yang hilang sejenak karena ketampanan Nicholas.
Setelah membuat daftar prospek kerjanya yang pertama, ia melanjutkan perjalanan singkatnya ke negeri kapuk yang terasa begitu nyaman malam itu—mungkin karena banyaknya kejutan di hari pertama ia berada di kota barunya.
Mentari menyematkan cahayanya sedikit ke mata Nina, membuat Nina yang berada di negeri kapuk harus kembali ke alam nyata yang dinamis dengan tantangan. Ia bangun perlahan-lahan dan sesegera mungkin membersihkan dirinya. Setelah usai semua urusannya dengan penampilan, dengan mengenakan celana jeans putih dan kaos bertuliskan “I’m Yours” berwarna pink keunguan ia melangkah keluar dari rumah dan betapa terkejutnya Ia, karena Nicholas telah berdiri di atas MoGe-nya.
“Eh maaf, nggak nyangka kamu datang kesini sepagi ini” sapa pertama Nina untuknya.
“Tak apalah lah, aku kesini juga untuk melihat keadaanmu. Dan jika kamu mau aku ada lowongan pekerjaan untukmu, Nina” balasnya sambil menatap tajam mata Nina
Nina sumringah mendengar penawaran lelaki itu, “Oh ya? Kebetulan sekali aku juga sangat membutuhkan pekerjaan disini”
“Oke, apa kamu bisa melukis Nina? Aku sangat butuh pelukis untuk memfasilitasi pameran lukisanku, kebetulan ada stand kosong untuk satu lukisan di pameran perdanaku” jawabnya panjang lebar.
“Oh, kebetulan sekali aku juga seorang pelukis impresionis. To-the-point saja, kapan bisa aku melukis?” kata Nina sambil melompat kegirangan.
“Kalau kau mau sih, hari ini kita bisa langsung hunting lokasinya, mau?”
“Oh baiklah, bagaimana kalau kita ke pantai kemarin? Bukankah indah view disana?”
“Okelah kalau itu kemauanmu, ayo cepat naik aku akan mengantarmu kesana dan segera melukis!” ucap Nico sambil menepuk jok MoGe-nya.
Seakan melawan angin mereka berdua melesat dari sudut kota menuju ke pantai indah itu. Tak sampai lima menit mereka berdua telah berada di pelataran pantai itu dan mencari tempat yang pas untuk melukis.

“Bagaimana kalau disana, didepan tebing batu itu” kata Nina sambil menunjuk ke arah tebing batu kapur yang kira-kira tujuh meter tingginya.
“Oke baik yuk kita kesana. Oh ya ngomong-ngomong bolehkah aku jadi model lukisanmu? Boleh ya?” Nico merapatkan kedua tangannya ke dada sambil memasang wajah memelas kepada Nina.
Nina menjawab—dan didalam hatinya ia sangat senang karena bisa melukis paras lelaki yang ia sukai itu, “Hmm.. Baiklah kalau itu maumu, lagipula kan tidak ada lagi model selain dirimu, haha”
Okay let’s do it now!” dengan logat Jerman yang ia punya ia berkata demikian.
Nina memulai kerja kerasnya dengan sepenuh tenaga, pertama-tama ia mulai menggambar garis demi garis dan menjadi sketsa cantik wajah Nico, dari sketsa itu ia mulai melukis detail setiap anatomi tubuh Nico, dan setelah beberapa jam lamanya mereka berdua melakukan tugas masing-masing. Lukisan Nina telah jadi dan ia bergegas menutupi lukisannya dengan kain hitam. Ia berniat memberikan kejutan tentang hasil lukisannya esok hari.
“Eh, kenapa lukisan itu kamu tutup? Jelek ya?” Tanya Nico.
Engga kok, cuman belum saatnya kamu melihat lukisan ini!” Nina membuat Nico semakin penasaran.

“Ah kamu itu..” pembicaraannya terputus dan disambung oleh suara batuk dari Nico yang terdengar sangat melengking “uhuk..uhuk..”
Ia terbatuk-batuk, membuat Nina panik dan menanyakan kepada Nico apakah ia baik-baik saja. Nico mengangguk dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat pasi. Nina menyarankan istirahat untuknya hari ini, tetapi Nico bersikeras ia menegaskan bahwa ia tak apa-apa. Nico memaksa Nina untuk mengantarkannya pulang, dengan tidak enak hati Nina mengiyakan permintaan Nico itu.
Di dalam perjalanan pulang dari pantai, perasaan Nina semakin tidak enak. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari diri Nico. Tetapi Nico diam seribu bahasa ia bersikeras berkata “Aku tidak apa-apa, hanya tersedak angin laut yang dingin”.
Setelah sampai dirumah, Nico segera pamit pulang dan Nina masuk kedalam rumah dengan langkah berat meninggalkan Nico. Nina melepas penat dengan meletakkan lukisannya di atas meja dan membanting diri di kasur empuknya. Tak cukup satu, dua jam ia memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Nico, ia pun tidak bisa tidur karena terus memikirkan keadaannya. Di dalam otaknya muncul banyak spekulasi tentang keadaan Nico, tetapi dinginnya malam telah merilekskan syaraf otaknya dan membuatnya tertidur disela kepanikan yang melanda dirinya.
Esok paginya ia, pikiran jelek tentang Nico sudah sirna dari benak Nina dan berganti dengan perasaan deg-degan karena lukisannya akan diberikan kepada Nico nanti. Setelah semua usai, ia beranjak keluar dari rumah dan sesegera mungkin mencari kendaraan umum agar bisa mengantarnya ke kediaman Nico. Sambil menenteng tas berisi lukisan, ia menyusuri jalanan kota kecil itu, berkelok-kelok, naik dan turun bukit sambil disuguhi pemandangan keramahan masyarakat kota itu.
Kendaraan yang mengantarnya pun telah sampai di depan rumah Nico yang cukup besar, Nina membayar ongkos jalan dan kemudian mematung sejenak di depan rumah Nico. Nina kaget mengapa begitu banyak orang di dalam dan depan rumahnya? apakah pamerannya sudah dimulai? Nina begitu bingung. Di tengah kebingungannya ia di kagetkan oleh tepukan lembut di punggungnya, dan secara sigap berbalik. Ia melihat di depannya adalah pria tua berpakaian hitam berdiri di depannya sambil menyalami tangan Nina.
“Perkenalkan nama saya Thomas, saya adalah pelayan pribadi dari Tuan Nico. Apakah benar anda ini Nina, Nina Christly?” Tanya pria tua itu.
Nina menjawab dengan penuh kebingungan, “Ya anda benar, ada keperluan apa ya?”
“Begini, sehubungan dengan permintaan terakhir Tuan Nico yang ingin memberikan sebuah bingkisan untuk anda. Saya disuruh untuk memberikannya kepada anda.” Sambil menyerahkan bingkisan kecil itu kepada Nina.
“Tunggu, permintaan terakhir. Memangnya Nico kemana? Pindah dari kota ini?” Tanya Nina ke pria tua yang sedikit bungkuk itu.
“Maaf sebelumnya, apakah anda tidak tahu tentang keadaan Tuan Nicholas?” Pelayan itu menanyakan balik.
“Maaf Pak, saya benar-benar tidak tahu!” nada suaranya agak meninggi karena panik.

Raut muka pria tua itu berubah menjadi sedih, dengan tatapan kosong kearah langit ia menjelaskan, “Begini, Tuan Nicholas telah meninggal kemarin malam, beliau mengidap penyakit kanker paru-paru dan jantung koroner sejak dua tahun yang lalu..” ceritanya terpotong oleh teriakan Nina.

“Apaaa??? Meninggal???” Nina terkejut bukan kepalang, Pria rupawan yang telah mengisi kekosongan hatinya itu tiba-tiba dikabarkan meninggal, dan parahnya ia tak sedikit pun pernah berpamitan kepadanya.
Nina sudah tidak bisa membendung air matanya yang telah memberontak ingin keluar, ia menumpahkan semua kesedihannya di depan rumah Nico. Ia seperti kehilangan separuh bahkan semua semangat hidupnya, di pikiran Nina hanyalah Nico satu-satunya yang ia punya di kota ini. Nina menjerit dan memanggil nama Nico, ia histeris. Dengan sigap pria tua itu merangkul dan mencoba menabahkan hatinya agar bisa menerima kepergian Niholas.
“Sabar, semua telah digariskan, semua sudah kehendak Tuhan. Kamu, bapak dan semua orang pun tidak akan bisa mengelak takdir Tuhan yang telah digariskan. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah dan mendoakan Tuan Nico agar tenang di alam sana.” Kata Pak Thomas.
Nina menjawab sambil terisak, “yang membuatku sedih adalah mengapa kepergiannya begitu cepat, ia telah mengisi hampanya hatiku, ia telah meramaikan sepinya hariku di kota kecil ini. Sekarang, apa dayaku tanpa dirinya?”
Tanpa menghiraukan Pak Thomas, Nina bergegas pergi dari rumah Nico dengan mata yang nanar karena tumpahan air mata yang begitu banyak. Ia mencari Taksi untuk bisa mengantarnya ke pantai kenangan Ia dan Nico. Supir Taksi itu begitu lihai memainkan setir dan cukup mahir berada di jalan ramai di kota kecil itu. Tak sampai lima menit ia sudah sampai di bibir pantai. Nina berdiam diri, termangu, mengingat-ingat kelucuan-kelucuan yang pernah mereka rangkai di pantai berpasir putih itu. Nina yang masih berlinang air mata kemudian melangkah menuju batu besar yang pernah ia tempati saat pertama ia menginjakkan kaki di kota kecil itu.
Menatap laut yang tenang dengan riak air yang begitu damai, membuat tangisannya sedikit mereda. Dengan sedikit terisak Nina membuka bingkisan terakhir dari Nico dan setelah dibuka ia mendapati bahwa lukisannya itu adalah sebuah cincin dengan batu Ruby merah menghiasi mahkotanya. Melihat cincin itu membuatnya semakin terenyuh hatinya. Nina yang telah rapuh, meletakkan bungkusan hitam berisi lukisan Nico yang dilukisnya dengan sepenuh hati di sebelah batu besar yang ia duduki.
Di dalam hatinya ia mengandai, “Inilah wujud cinta kita, merah seperti batu Ruby ini. Tapi sayang wujud cinta ini hanya semua setelah kau pergi..”
Di dasar kotak itu terselip sebuah kertas yang dilipat kecil, diambilnya kertas berwarna merah muda itu dan segera Ia buka setiap lipatan kertas itu. Kertas itu berisi tulisan tangan dari Nicholas, disana tertulis..
  Kuselipkan ikrar cintaku padamu,
Dalam sebuah cincin Ruby, tetapi cintaku..
Tak bisa dibarangkan hanya dengan sebongkah Ruby,
Hanyalah riak hangat air pantai,
Dan hanyalah deru pilu daun kelapa,
Yang bisa mengerti bagaimana besarnya cintaku padamu..
Di atas pantai Rindu ini,
Semaikanlah cintaku yang telah semu..


Rangkain kata itu terasa menusuk hati Nina, tetapi air matanya seakan habis karena peristiwa mengagetkan yang menimpa dirinya hari ini. Nina beranjak dari tempat duduknya dan berdiri tegap sambil merentangkan tangannya, dibiarkannya tangan lembutnya disapa oleh tiupan angin yang menusuk tulang, dihiraukannya debu pantai yang terasa mengusik jiwa, dibiarkannya terpendam di dalam pasir semua kenangan bersama Nico, dan ia berkata dalam hati,
“Inilah wujud nyata cintaku, untuk cintamu yang telah semu..”
“Kupendam dan akan terus ku kenang segalanya, semua cerita kita di balik kebisuan pantai rindu..”

Oleh: Andaka Rizki Pramadya

Tuesday, March 15, 2011

Friendship’s Power

“Ahh.. bosen” dialog pertama Ari di hari yang sangat membosankan itu.
“Iya benar, gak ada yang asik dan nyenengin hari ini!” sambung Kira untuk mencairkan suasana.

Ya, memang hari ini adalah hari yang membosankan, hari Rabu; jadwal hari paling membosankan, pertama adalah jam pertama Kimia dengan guru yang beranatomi tubuh mungil tapi tersimpan jiwa monster yang sering memakan siswa yang tidak connect dengan pelajaran yang diberikan olehnya, yang kedua adalah agama—pelajaran dua jam seminggu tapi serasa setahun, karena si guru agama ini marah dalam tanda kutip di kelasku—dan yang ketiga adalah pelajaran Bahasa Jepang yang sangat membuat otak ini penting dengan beribu kata asing yang kadang lucu untuk di ucapkan bagi kami yang seorang pemula dalam pelajaran ini, sensei—baca= guru—Clara, wah inilah yang sangat membuat bulu kudukku menari hiphop, guru yang terkenal killer dalam tanda kutip.
Yah, itulah sekilas tentang kebosanan-kebosanan yang akan ku lalui sekarang esok dan seterusnya, untuk siswa yang agak cuek dan keren seperti aku, memang pelajaran yang membosankan adalah hal yang tidak akan nyaman bila kulakukan. Memang walaupun cuek dalam pelajaran yang membosankan, aku adalah seorang yang pandai bergaul di berbagai lingkungan, maka dari itu tak mungkin laki-laki seperti Boni Saputra tidak mendapatkan banyak teman.

“Konnichiwa..” sapa sensei Clara saat memasuki  kelas kami dengan wajah cemberut.
Teman-temanku satu kelas serentak menjawab, “Konnichiwa tanaka sensei..”
Aku adalah siswa yang terakhir menjawab dengan terbata-bata, “Kon-chiwira”.
Tanpa aba-aba seluruh kelas menjadi riuh ramai, tertawaan teman-teman kepadaku tak sebegitu kuperhatikan. Sensei Clara meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya sambil menciutkan bibir menandakan semua siswa agar berhenti berbicara. Teman-temanku seketika diam tanpa suara, Sensei mengarahkan telunjuknya kearahku mengisyaratkan aku untuk segera menghadap ke depannya.

“Mengapa kamu menjawab salam saya dengan kata-kata lelucun macam itu?” Bentak sensei.
“Maaf sensei, saya fikir itu adalah jawaban yang benar. Saya tidak bermaksud untuk membuat lelucon.” Sanggahku.

“Saya sudah bosan dengan kelakuanmu, pergi ke luar kelas sampai pelajaran saya selesai, dan ingat jangan pergi ke kantin!” Perintah sesnsei dengan nada yang relatif tinggi.
“Baik sensei.” Dengan muka terlipat aku melangkah ke teras luar kelas untuk menghabiskan dua jam pelajaran dengan termangu tanpa sedikitpun kata-kata.
“Teng..Tengg..Tengg..” bel sekolah berdenting tiga kali tandanya pelajaran sensei usai dan waktunya untuk pulang.

Aku bergegas masuk ke kelas untuk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulang segala kesalahanku kepada sensei, setelahnya aku duduk di tempatku tadi sambil mengemasi barang-barang yang tercecer diataas meja.
“Bon, enak ya dikerjain ama Sensei?” Celoteh Kira.
“Enak palamu, malah tembah bosen di luar sana..” Bantahku.
“Eh sudah. Teman-teman aku punya ide, bagaimana untuk melepas penat kita pergi ke luar kota untuk sekedar melihat rindangnya pepohonan?” Ide Ari—tidak biasanya ia punya ide, padahal ia adalah siswa paling lemot.

Kira menyetujuinya dan menanyakan kapan akan berangkat ke luar kota. Ari menyarankan kepada kita untuk berangkat sekarang.
“Apa? Berangkat sekarang tanpa persiapan?” Sahutku dalam hati.
Mereka berdua menyeret dan memaksaku untuk  ikut dengan mereka, yah harus bagaimana lagi aku tidak bisa menolak permintaan kedua sahabatku itu. Kira mengambil kontak mobil Honda Jazz warna hitamnya dan mengkomando kami agar cepat masuk ke dalam mobilnya agar dapat sampai ke luar kota tidak terlalu malam. Kami mengangguk dan langsung masuk. Kaki Kira relfleks menancap gas, dan mobil ber-plat nomor L-4790 KI itu melesat dari lapangan perkit sekolah ke jalanan yang seringkali macet.

Perlajanan kami terasa sangat menyenangkan karena banyak sekali lelucon yang kami buat untuk saling kami lontarkan satu sama lain, tiga jam perjalanan dari Surabaya ke Malang terasa sangat cepat, setelah sampai di depan villa milik Kira, kami bertiga turun dari mobil dan dengan cepat memekarkan hidung lebar-lebar untuk menghirup oksigen yang sudah lama tak kami hirup seleluasa ini di Surabaya. Mobil Kira di parkir di depan pohon akasia kuning di pojok villa. Mentari mulai menyalakan lampu oranye tanda akan datang petang, kami bertiga masuk ke dalam villa besar berukuran 8 kali 7 meter milik Kira. Kami memilih kamar masing-masing, Kira memilih kamar eksklusif yang biasa ia tempati sedangkan Aku dan Ari memilih kamar sedang yang biasa-biasa saja.

Jam berbunyi tujuh kali, menandakan waktunya untuk makan malam. Aku yang saat itu sudah siap langsung melesat ke meja makan, disana sudah tertata rapih daging steak, balado, dan sup jagung, untuk makanan penutup kali ini pelayan Kira menyiapkan salad buah kaya fla, hmm lezat untuk orang seukuranku yang relatif bernafsu makan besar. Makan malam ini seperti biasanya kami saling melempat lelucon yang jelek dan menyakitkan tapi itu sudah biasa kami lakukan jadi menurut kami itu biasa-biasa saja. Malam mulai larut tapi kami masih aktif bercanda di ruang tamu sambil main remi.

Jam dinding tua milik Kira berbunyi lagi, kali ini terdengar 12 dentuman.
“Oh astaga ini sudah tengah malam, ayo kita bergegas tidur. Bukankah kita akan berkemas besok pagi-pagi?” Ajakku.
“Halah, tenanglah sedikit ini baru permulaan” Sambil menyembunyikan tanggannya di belakang, Kira memunculkan wajah girangnya.
“Permulaan katamu? Apa maksutmu?” kataku penasaran.
Kira menyembunyikan dua botol berwarna hijau seperti botol sirup, aku faham apa isinya. Sebuah bir! Aku kaget, aku semakin panik setelah Ari berkata,
“Ayolah cobalah ini, kau kan tak pernah mencoba barang-barang seperti ini? Ini membuat kita enak! Cobalah Bon.” Kata Ari sambil menjulurkan botol berisi bir itu kepadaku.

Aku diam dan hanya menggeleng takut, aku memang cuek, aku memang sedikit berangasan tapi aku bukanlah orang yang suka berbuat aneh-aneh apalagi sampai minum-minuman keras seperti bir. Lima belas menit berlalu dengan penuh deraan bagiku mereka berdua minum minuman maksiat itu dengan tanpa dosa, mereka tetap memaksaku untuk meminum bir yang mereka tegak. Aku berontak dan beranjak dan menuju ke kamar, kukunci kamar langsung dan kupaksa kedua mataku untuk bisa tidur.
Berjam-jam Ari dan Kira tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka tertawakan, sesekali mereka mengetuk kamarku. Membujukku untuk iku dengan mereka, sekitar dua jam mereka bersenang-senang diluar akan tetapi mataku ini tidak bisa dikatupkan. Jam lima pagi tepatnya aku bisa tertidur.

Suara ketukan di pintu kamarku membangunkanku dari tidur singkatku.
“Siapa?” tanyaku.
“Pak Udin..” dengan suara khasnya.
“Kenapa pak?”
“Makanan sudah siap den..”
Makanan? Perutku tiba-tiba berbunyi “kruuuuk..”. Dari tempat tidur aku beranjak ke kamar mandi, berganti pakaian dan segera merapikan tempat tidur. Kudengar pintu kamarku di ketok lagi. Kali ini agak berbeda dengan suara ketukan pak Udin,
“Bon, cepetan kita gak bisa mulai makan tanpa kamu?” Suara serak Ari terdengar dari balik pintu.
“Yah sebentar!” Aku menjawab dengan sedikit membentak.
Aku keluar dari kamarku dan segera menuju ke ruang makan. Mereka semua sedang duduk berhadap-hadapan lalu memandangiku.
“Lama amat sih?” Tanya Kira.
“Yah..” Jawabku singkat.

Kami semua mulai makan tanpa ada lontaran lelucon hangat yang sering kami lakukan. Aku bingung dengan sikap mereka yang innocent terhadap kejadian kemarin. Aku pun tak perduli, setelah makan kupercepat langkah ke wastafel di sebelah pintu masuk ruang makan dan bergegas pergi dari ruang makan itu. Aku menuju ke taman untuk menghilangkan stress akibat tingkah laku sahabatku tadi malam. Aku bingung, mengapa mereka melakukan perbuatan maksiat itu. Setengah jam aku melamun di bawah pohon akasia kuning yang sedikit gugur daunnya. Tepat disebelah tempat dudukku adalah mobil honda jazz milik Kira.
“Greng..” Suara mesing dinyalakan.

Aku terkejut dan sigap berdiri tanpa aba-aba, ternyata mobil Kira yang berbunyi. Kira sudah berada di dalam dan melambaikan tangan kepadaku serasa mengisyaratkan tangannya kepadaku agar segera naik dan pulang. Aku kembali ke villa untuk mengambil tas ransel polo milikku dan berpamitan dengan Pak Udin yang sudah berada di depan pintu villa sambil membawa kunci.

Setelah berpamitan aku bergegas masuk ke mobil, aku duduk di jok depan dengan Kira yang sedang menyetir. Sama seperti di meja makan, kami tidak saling melontarkan lelucon apapun untuk mencairkan suasana. Entah, karena aku yang terlalu dingin ataukah mereka yang cuek. Mobil melaju cepat dengan AC yang disetel 27 derajat celcius. Kira menekan tombol untuk menyalakan music player. Kira memutar lagu dari Nidji, Arti Sahabat. Tetapi dengan tune yang rendah, jadi kami bisa menikmatinya tanpa harus berjingkrak-jingkrak.

“Hei kenapa kalian diam?” Kataku untuk sekedar intermezzo.
“Ah gak apa-apa! Kami hanya ingin diam!” Kata Ari sontak dari sandaran joknya.
Tiga jam perjalanan dari Malang ke Surabaya tanpa sedikitpun lelucon membuatku bosan dan memutuskan untuk tidur saja. Tiga jam begitu lama, entah mengapa biasanya tiga jam adalah waktu yang singkat bagi kami jika bersama.

“Eh, bangun Bon. Kita sudah sampai.” Kata Kira sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Hmmm..” dengan nada khas jika bangun tidur.
Aku membuka mata perlahan-lahan dan kulihat Kira sudah berdiri di depan mobil sambil menggosok-gosok kepalanya seperti biasanya. Aku keluar dari mobil dan mengucapkan terimakasih kepada Kira atas liburan kemarin. Ari datang dari selatan dengan membawa tiga botol minuman energi untuk kami.
“Hei, Bon!” ucap Ari sambil menepuk pundakku.
“Apa?”
“Kami ingin minta maaf padamu!” Sambung Kira.
“Untuk?”
“Untuk perbuatan kami kemarin!”
“Apa kalian barusan sadar? Itu perbuatan maksiat!” Kataku dengan nada yang meninggi.
Terbesit muka menyesal dari Kira dan Ari tetapi hilang seketika digantikan wajah lucu dari raut muka mereka,
“Kami hanya mengetesmu Bon!” kata Kira.
“Mengetes?” Tanyaku bingung.
“Yah..” jawab Ari singkat.
“Begini..” celoteh Ari sambil mengambil nafas, “Kemarin botol hijau yang kami minum memang botol bir, tetapi isi dari botol itu bukanlah bir itu hanyalah air minuman isotonik yang baunya sama persis seperti bir.”

 “Apa?” Raut mukaku berubah jadi raut muka aneh, “Lalu, mengapa kalian tertawa-tawa saat aku pergi ke kamar seperti orang mabuk?”
“Oh itu, kami sedang menonton DVD film The God must be Crazy kesukaan kita.” Jawab Ari.
Kira membusungkan dada, “Nah ini semua skenario yang aku buat sendiri!”
“Lalu, tujuan kalian melakukan ini untuk apa?” Tanyaku bingun dan semakin bingung.
“Tujuan kami hanya ingin mengetahui, bagaimana jika sahabatmu sedang melakukan kegiatan yang salah atau menyimpang. Apakah kamu akan mengikuti mereka dengan alasan persahabatan?” Jawab Ari panjang lebar.
“Yah, ternyata kamu memang benar-benar seorang sahabat yang baik!” sambung Kira.
“Selalu mengingatkan jika sahabatmu salah dan berani berkata TIDAK!”
Otakku sedikit demi sedikit bisa mencerna kata-kata meraka,
“Oh..” kataku yang barusan mengerti.

“Dasar LEMOT!” kata mereka serentak sambil mengacak-ngacak rambutku.
Kami pun tertawa bersama-sama dan saling membuat lelucon lagi seperti dulu dan akhirnya kami pun tahu apa arti sebenarnya dari Sahabat itu dan betapa kuatnya Arti Persahabatan.

 Oleh: Andaka Rizki Pramadya

Saturday, February 19, 2011

Sexy Girl

Punya badan sexy tentu saja sangat menyenangkan bagi setiap perempuan. Rasa percaya diri akan timbul dengan sendirinya. Tampil fashionable menjadi efek samping yang terbentuk secara tidak langsung. Cermin menjadi salah satu hal wajib kunjung setiap saat karena kita sudah mulai terjangkit virus narsisia.


Dari sini keinginan unguk selalu tampil menawan mulai jadi pertimbangan. Sudah pasti tubuh yang proporsional menjadi tujuan agar kata sexy selalu melekat di diri. Untuk menjaga tubuh agar selalu terbentuk secara proporsional sendiri harus melewati beberapa perjuangan yang harus selalu di laksanakan dan patuhi.


Di antara syarat utama untuk menjaga bentuk tubuh di antaranya adalah


    • Diet -> Arti diet sendiri bukan mengurangi makanan yang kita cerna, akan tetapi mencermati apa yang kita konsumsi. Usahakan untuk mengurangi karbohidrat dan mengganti dengan protein, sayur serta buah. Makan sebelum lapar agar kita bisa memilih makanan secara rasional dan cermat.
    • Berolah raga secara teratur serta berkelanjutan sehingga lemak dan kalori yang menjadi faktor pembentuk kegemukan di tubuh bisa terbakar.
    • Istirahat yang cukup akan berpengaruh penting dalam menjaga stamina kita.
Langkah berikutnya adalah mengisi suplemen otak, tapi dengan apa? Ehm tentu saja dengan menambah wawasan agar tidak di anggap otaknya tidak berisi. Suatu kelebihan yang terukur, selain punya body sexy maka otakpun sexy dan smart. 

    Share to your

    Twitter Facebook Delicious Digg Stumbleupon Favorites More