Sembari menikmati senja di pantai kota itu, Ia menulis lembaran pertama buku laporan perjalanannya di kota kecil berpanorama eksotis itu. Nina, lebih tepatnya Nina Christly seorang gadis belia berumur 16 tahun yang baru saja pindah ke kota kecil itu, sedang duduk diatas batu besar yang memecah ombak di tepi pantai. Dengan berpenampilan sedikit cuek tapi berparas cantik ia berdiam diri sejenak menyaksikan ombak yang berkejaran di laut lepas sambil diterpa biasan sinar oranye mentari sore. Setelah ia puas, gadis berambut pirang itu akhirnya mulai menggoreskan tinta di lembar buku laporannya.
“Aku mulai kehidupan baruku, dan berikrar di atas pangkuan batu dan didepan sapuan ombak..” kata-kata pertama yang ia tulis, ditulis dengan beribu harapan yang baru di kota kecil itu.
Sore telah berpulang dan gelap menggantikan, Nina mulai beranjak dari tempat duduknya dan pulang untuk rehat dan menyusun prospek baru di kota barunya ini. Berjalan menyusuri pantai yang tak begitu luas itu merupakan pengalaman yang berkesan di benak gadis mungil itu, terlena dengan indahnya pantai, matanya tak awas dan tak sengaja menginjak bulu babi,
“Aww..” ia meraung kesakitan dengan suara khasnya
Beberapa menit setelahnya, sambil berjalan terseok ia mulai kehilangan kesadarannya, ia berjalan sempoyongan ke kanan dan ke kiri dan klimaksnya ia jatuh di bawah rimbunnya pohon kelapa. Entah berapa lama ia tertidur dan entah bagaimana nasibnya.
Tetapi, perlahan ia mendapatkan kembali kesadarannya dan mulai beranjak bangun dari tempat ia tertidur, dan betapa kagetnya ia melihat tempat yang ia tiduri adalah kasur springbed dengan ukiran kayu jati di kanan kirinya.
“Hah? Dimana aku? Bagaimana aku bisa berada disini? Bukannya aku tadi di pantai?” beribu pertanyaan diberondongkan ke dirinya sendiri
Dengan sopan ada seseorang yang mengetuk pintu kamar itu, “tok..tok..”
Kemudian seseorang itu masuk, sambil membawa sepiring makanan yang lezat. Nina mulai mengekspos struktur tubuh pria itu dari kaki sampai ke badan dan dari badan berhenti di wajah,
“dek..” serasa jantung Nina berhenti berdetak.
Setelah melihat paras nyaris sempurna dari sosok laki-laki yang berdiri di depannya itu, dengan rambut dan pupil cokelat dan kontur wajah kebule-bulean membuat hati Nina semakin berdegup tak menentu. Beberapa detik setelah itu suara bariton dari pria itu memecah keheningan,
“Maaf mbak, mbak sudah siuman. Ini mbak saya bawakan sedikit makanan untuk mengganjal perut mbak yang mungkin sudah minta diisi” kesopanan dan lembut suaranya semakin membuat irama pompa jantungnya semakin cepat.
Nina menjawab dengan sedikit gagu, “a..a.. terimakasih ya mas”.
“Ngomong-ngomong nama mbak siapa ya? Dan kenapa bisa tidak sadarkan diri malam-malam di pantai? Mbak orang baru disini ya?” sambung pria tegap itu.
“Nama saya Nina, tadi tidak sengaja kaki saya tersandung bulu babi saya tidak tahu racun bulu babi bisa membuat manusia tidak sadarkan diri. Iya mas saya orang baru disini. Oh ya nama mas siapa ya kalau boleh tahu?” ia menjawab sambil melontarkan pertanyaan balik.
“Nama saya Nicholas, panggil saja Nico. Kebetulan saya pendatang tapi sudah sekitar lima tahunan bekerja disini.” Balasnya dengan melontarkan senyum simpul dari wajah manisnya.
Tak berapa lama setelah banyak pembicaraan ringan, Nina pamit untuk pulang ke rumahnya di sudut kota, tetapi Nico melarangnya untuk pulang sendirian. Nico punya inisiatif untuk mengantarnya sampai kerumah. Nina sekali lagi terkagum dengan sifat lelakinya yang begitu kental. Nina menyetujui permintaan Nico dan segera mengantarnya pulang dengan motor gede miliknya.
Sampai disudut kota itu, tepatnya di depan rumah berlantai dua dengan kesan minimalis milik Nina, Nico menurunkannya dari sepeda dan mengucapkan salam. Nina hanya membalas dengan senyum dari wajah mungilnya sambil berkata,
“terimakasih Nico,”
Nico membalas senyumannya dan langsung hilang dibalik kabut malam yang terasa begitu romantis malam itu. Di dalam benak Nina ia sangat berharap bisa bertemu lagi untuk kesekian kalinya dengan lelaki itu.
Nina masuk kedalam rumah, dan menaiki tangga sambil terseok karena luka karena racun bulu babi sore tadi membuat kakinya agak mati rasa. Ia menuju kamarnya sambil sembari membersihkan diri, setelah menyisir rambut bergelombangnya ia sadar jam berapa sekarang, secepat kilat ia menoleh ke arah jam dinding, betapa kagetnya ia melihat jam sudah menunjuk angka dua belas malam dan ia belum menyusun prospek kerja di kota barunya sedikitpun.
Sesegera mungkin ia bangkit dari lamunannya dan menuju ke meja belajar klasik milik kakeknya dulu, ia meraih pensil dan buku laporan kerja yang ia bawa ke pantai sore tadi dan mulai menulis,
“hari pertama gatot, hari kedua harus bisa mendapatkan hasil..” kalimat sugesti yang ia buat membangkitkan semangat kerjanya yang hilang sejenak karena ketampanan Nicholas.
Setelah membuat daftar prospek kerjanya yang pertama, ia melanjutkan perjalanan singkatnya ke negeri kapuk yang terasa begitu nyaman malam itu—mungkin karena banyaknya kejutan di hari pertama ia berada di kota barunya.
Mentari menyematkan cahayanya sedikit ke mata Nina, membuat Nina yang berada di negeri kapuk harus kembali ke alam nyata yang dinamis dengan tantangan. Ia bangun perlahan-lahan dan sesegera mungkin membersihkan dirinya. Setelah usai semua urusannya dengan penampilan, dengan mengenakan celana jeans putih dan kaos bertuliskan “I’m Yours” berwarna pink keunguan ia melangkah keluar dari rumah dan betapa terkejutnya Ia, karena Nicholas telah berdiri di atas MoGe-nya.
“Eh maaf, nggak nyangka kamu datang kesini sepagi ini” sapa pertama Nina untuknya.
“Tak apalah lah, aku kesini juga untuk melihat keadaanmu. Dan jika kamu mau aku ada lowongan pekerjaan untukmu, Nina” balasnya sambil menatap tajam mata Nina
Nina sumringah mendengar penawaran lelaki itu, “Oh ya? Kebetulan sekali aku juga sangat membutuhkan pekerjaan disini”
“Oke, apa kamu bisa melukis Nina? Aku sangat butuh pelukis untuk memfasilitasi pameran lukisanku, kebetulan ada stand kosong untuk satu lukisan di pameran perdanaku” jawabnya panjang lebar.
“Oh, kebetulan sekali aku juga seorang pelukis impresionis. To-the-point saja, kapan bisa aku melukis?” kata Nina sambil melompat kegirangan.
“Kalau kau mau sih, hari ini kita bisa langsung hunting lokasinya, mau?”
“Oh baiklah, bagaimana kalau kita ke pantai kemarin? Bukankah indah view disana?”
“Okelah kalau itu kemauanmu, ayo cepat naik aku akan mengantarmu kesana dan segera melukis!” ucap Nico sambil menepuk jok MoGe-nya.
Seakan melawan angin mereka berdua melesat dari sudut kota menuju ke pantai indah itu. Tak sampai lima menit mereka berdua telah berada di pelataran pantai itu dan mencari tempat yang pas untuk melukis.
“Bagaimana kalau disana, didepan tebing batu itu” kata Nina sambil menunjuk ke arah tebing batu kapur yang kira-kira tujuh meter tingginya.
“Oke baik yuk kita kesana. Oh ya ngomong-ngomong bolehkah aku jadi model lukisanmu? Boleh ya?” Nico merapatkan kedua tangannya ke dada sambil memasang wajah memelas kepada Nina.
Nina menjawab—dan didalam hatinya ia sangat senang karena bisa melukis paras lelaki yang ia sukai itu, “Hmm.. Baiklah kalau itu maumu, lagipula kan tidak ada lagi model selain dirimu, haha”
“Okay let’s do it now!” dengan logat Jerman yang ia punya ia berkata demikian.
Nina memulai kerja kerasnya dengan sepenuh tenaga, pertama-tama ia mulai menggambar garis demi garis dan menjadi sketsa cantik wajah Nico, dari sketsa itu ia mulai melukis detail setiap anatomi tubuh Nico, dan setelah beberapa jam lamanya mereka berdua melakukan tugas masing-masing. Lukisan Nina telah jadi dan ia bergegas menutupi lukisannya dengan kain hitam. Ia berniat memberikan kejutan tentang hasil lukisannya esok hari.
“Eh, kenapa lukisan itu kamu tutup? Jelek ya?” Tanya Nico.
“Engga kok, cuman belum saatnya kamu melihat lukisan ini!” Nina membuat Nico semakin penasaran.
“Ah kamu itu..” pembicaraannya terputus dan disambung oleh suara batuk dari Nico yang terdengar sangat melengking “uhuk..uhuk..”
Ia terbatuk-batuk, membuat Nina panik dan menanyakan kepada Nico apakah ia baik-baik saja. Nico mengangguk dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat pasi. Nina menyarankan istirahat untuknya hari ini, tetapi Nico bersikeras ia menegaskan bahwa ia tak apa-apa. Nico memaksa Nina untuk mengantarkannya pulang, dengan tidak enak hati Nina mengiyakan permintaan Nico itu.
Di dalam perjalanan pulang dari pantai, perasaan Nina semakin tidak enak. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari diri Nico. Tetapi Nico diam seribu bahasa ia bersikeras berkata “Aku tidak apa-apa, hanya tersedak angin laut yang dingin”.
Setelah sampai dirumah, Nico segera pamit pulang dan Nina masuk kedalam rumah dengan langkah berat meninggalkan Nico. Nina melepas penat dengan meletakkan lukisannya di atas meja dan membanting diri di kasur empuknya. Tak cukup satu, dua jam ia memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Nico, ia pun tidak bisa tidur karena terus memikirkan keadaannya. Di dalam otaknya muncul banyak spekulasi tentang keadaan Nico, tetapi dinginnya malam telah merilekskan syaraf otaknya dan membuatnya tertidur disela kepanikan yang melanda dirinya.
Esok paginya ia, pikiran jelek tentang Nico sudah sirna dari benak Nina dan berganti dengan perasaan deg-degan karena lukisannya akan diberikan kepada Nico nanti. Setelah semua usai, ia beranjak keluar dari rumah dan sesegera mungkin mencari kendaraan umum agar bisa mengantarnya ke kediaman Nico. Sambil menenteng tas berisi lukisan, ia menyusuri jalanan kota kecil itu, berkelok-kelok, naik dan turun bukit sambil disuguhi pemandangan keramahan masyarakat kota itu.
Kendaraan yang mengantarnya pun telah sampai di depan rumah Nico yang cukup besar, Nina membayar ongkos jalan dan kemudian mematung sejenak di depan rumah Nico. Nina kaget mengapa begitu banyak orang di dalam dan depan rumahnya? apakah pamerannya sudah dimulai? Nina begitu bingung. Di tengah kebingungannya ia di kagetkan oleh tepukan lembut di punggungnya, dan secara sigap berbalik. Ia melihat di depannya adalah pria tua berpakaian hitam berdiri di depannya sambil menyalami tangan Nina.
“Perkenalkan nama saya Thomas, saya adalah pelayan pribadi dari Tuan Nico. Apakah benar anda ini Nina, Nina Christly?” Tanya pria tua itu.
Nina menjawab dengan penuh kebingungan, “Ya anda benar, ada keperluan apa ya?”
“Begini, sehubungan dengan permintaan terakhir Tuan Nico yang ingin memberikan sebuah bingkisan untuk anda. Saya disuruh untuk memberikannya kepada anda.” Sambil menyerahkan bingkisan kecil itu kepada Nina.
“Tunggu, permintaan terakhir. Memangnya Nico kemana? Pindah dari kota ini?” Tanya Nina ke pria tua yang sedikit bungkuk itu.
“Maaf sebelumnya, apakah anda tidak tahu tentang keadaan Tuan Nicholas?” Pelayan itu menanyakan balik.
“Maaf Pak, saya benar-benar tidak tahu!” nada suaranya agak meninggi karena panik.
Raut muka pria tua itu berubah menjadi sedih, dengan tatapan kosong kearah langit ia menjelaskan, “Begini, Tuan Nicholas telah meninggal kemarin malam, beliau mengidap penyakit kanker paru-paru dan jantung koroner sejak dua tahun yang lalu..” ceritanya terpotong oleh teriakan Nina.
“Apaaa??? Meninggal???” Nina terkejut bukan kepalang, Pria rupawan yang telah mengisi kekosongan hatinya itu tiba-tiba dikabarkan meninggal, dan parahnya ia tak sedikit pun pernah berpamitan kepadanya.
Nina sudah tidak bisa membendung air matanya yang telah memberontak ingin keluar, ia menumpahkan semua kesedihannya di depan rumah Nico. Ia seperti kehilangan separuh bahkan semua semangat hidupnya, di pikiran Nina hanyalah Nico satu-satunya yang ia punya di kota ini. Nina menjerit dan memanggil nama Nico, ia histeris. Dengan sigap pria tua itu merangkul dan mencoba menabahkan hatinya agar bisa menerima kepergian Niholas.
“Sabar, semua telah digariskan, semua sudah kehendak Tuhan. Kamu, bapak dan semua orang pun tidak akan bisa mengelak takdir Tuhan yang telah digariskan. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah dan mendoakan Tuan Nico agar tenang di alam sana.” Kata Pak Thomas.
Nina menjawab sambil terisak, “yang membuatku sedih adalah mengapa kepergiannya begitu cepat, ia telah mengisi hampanya hatiku, ia telah meramaikan sepinya hariku di kota kecil ini. Sekarang, apa dayaku tanpa dirinya?”
Tanpa menghiraukan Pak Thomas, Nina bergegas pergi dari rumah Nico dengan mata yang nanar karena tumpahan air mata yang begitu banyak. Ia mencari Taksi untuk bisa mengantarnya ke pantai kenangan Ia dan Nico. Supir Taksi itu begitu lihai memainkan setir dan cukup mahir berada di jalan ramai di kota kecil itu. Tak sampai lima menit ia sudah sampai di bibir pantai. Nina berdiam diri, termangu, mengingat-ingat kelucuan-kelucuan yang pernah mereka rangkai di pantai berpasir putih itu. Nina yang masih berlinang air mata kemudian melangkah menuju batu besar yang pernah ia tempati saat pertama ia menginjakkan kaki di kota kecil itu.
Menatap laut yang tenang dengan riak air yang begitu damai, membuat tangisannya sedikit mereda. Dengan sedikit terisak Nina membuka bingkisan terakhir dari Nico dan setelah dibuka ia mendapati bahwa lukisannya itu adalah sebuah cincin dengan batu Ruby merah menghiasi mahkotanya. Melihat cincin itu membuatnya semakin terenyuh hatinya. Nina yang telah rapuh, meletakkan bungkusan hitam berisi lukisan Nico yang dilukisnya dengan sepenuh hati di sebelah batu besar yang ia duduki.
Di dalam hatinya ia mengandai, “Inilah wujud cinta kita, merah seperti batu Ruby ini. Tapi sayang wujud cinta ini hanya semua setelah kau pergi..”
Di dasar kotak itu terselip sebuah kertas yang dilipat kecil, diambilnya kertas berwarna merah muda itu dan segera Ia buka setiap lipatan kertas itu. Kertas itu berisi tulisan tangan dari Nicholas, disana tertulis..
Kuselipkan ikrar cintaku padamu,
Dalam sebuah cincin Ruby, tetapi cintaku..
Tak bisa dibarangkan hanya dengan sebongkah Ruby,
Hanyalah riak hangat air pantai,
Dan hanyalah deru pilu daun kelapa,
Yang bisa mengerti bagaimana besarnya cintaku padamu..
Di atas pantai Rindu ini,
Semaikanlah cintaku yang telah semu..
Rangkain kata itu terasa menusuk hati Nina, tetapi air matanya seakan habis karena peristiwa mengagetkan yang menimpa dirinya hari ini. Nina beranjak dari tempat duduknya dan berdiri tegap sambil merentangkan tangannya, dibiarkannya tangan lembutnya disapa oleh tiupan angin yang menusuk tulang, dihiraukannya debu pantai yang terasa mengusik jiwa, dibiarkannya terpendam di dalam pasir semua kenangan bersama Nico, dan ia berkata dalam hati,
“Inilah wujud nyata cintaku, untuk cintamu yang telah semu..”
“Kupendam dan akan terus ku kenang segalanya, semua cerita kita di balik kebisuan pantai rindu..”
Oleh: Andaka Rizki Pramadya
0 comments:
Post a Comment