“Peserta nomer 28, silahkan masuk ke ruangan!” seru petugas pintu masuk audisi.
Aku yang saat itu setengah grogi, berjalan masuk ke tempat audisi dengan langkah setengah berat. Sebelum aku membuka pintu ruang audisi aku mencoba menghilangkan perasaan grogiku dengan sedikit berdehem.
Kubuka pelan pintu audisi itu hingga terdengar suara pintu berdecit, suhu ruangan di dalam dan di luar ruang audisi begitu berbeda. Di dalam ruang audisi terasa begitu dingin karena AC yang dinyalakan maksimum. Tetapi sapa hangat para juri membuat suasana lebih mencair,
“Selamat sore,” sapa juri wanita dengan rambut dikepang satu. “Silahkan perkenalkan diri anda.”
Aku membalas dengan senyuman, “Perkenalankan para juri, saya Claire, Claire Clarrisa. Saya berumur enam belas tahun dan saya belum punya dedikasi yang berarti di bidang tarik suara.”
“Baiklah,” sambung juri kedua. “Silahkan pertunjukkan aksimu!”
Aku mulai mengatur nafas lagi dan mencoba mengambil nada awal Do. “Do….” Dan kumulai sebuah lagu pilu dari Dewi Sandra, Mati Rasa. Dan kumulai bernyanyi dari Reference:
“Aku mati rasa,
Ketika kau bersamanya.
Tak ada lagi perasaan..
Tak bisa lagi kumerasakan, Cinta”
“Stop..” Juri ketiga menghentikan nyanyianku.
“Baiklah kami akan memutuskan anda lolos atau tidak nanti, sekarang silahkan anda keluar.”
“Terimakasih..” Dan aku bergegas pergi dari ruang audisi.
Keluar dari ruang audisi, aku disambut dengan suara-suara yang tak pernah asing di telingaku. Yah suara dari Shinta, sahabat karibku. Dia adalah soprano terhebat di sekolah, meskipun begitu ia tidak pernah sombong atas predikat yang diberikan kepadanya. Ia pun tak malu mengajariku untuk memantapkan segala kebutuhanku dalam bidang tarik suara, meskipun aku hanya seorang messo-sopran yang kurang mantab power dan kurang lebar ambitus suaranya.
“Hei,” sapa Shinta. “Bagaimana didalam?”
“Entahlah”
Kami berdua pergi dari depan pintu ruang audisi ke ruang tunggu, di perjalanan kami bertemu dengan dua orang wanita, dan kebetulan mereka adalah teman sekelasku. Kirana dan Nichole, tak kusangka mereka juga ikut audisi ini. Mereka berdua adalah orang yang sombong, selalu egois dan tak pernah bisa bergaul dengan orang lain yang tidak sederajat dalam tanda kutip dengannya.
“Hei Kir, Chol.”
Mereka hanya membalasnya dengan senyuman jutek yang biasa mereka lontarkan padaku.
“Kenapa mereka berdua?” Tanya Shinta.
“Yah begitulah mereka, sombongnya minta ampun!”
Aku mengangkat bahu.
Ku lihat di raut muka Shinta tersirat perasaan bingung terhadap Kirana dan Nichole, tetapi sudahlah. Kami berdua sampai di ruang tunggu dan segera mencari tempat duduk. Aku melihat tempat duduk di sudut ruangan dengan sandaran empuk yang nyaman. Segera kududuki, dan melambaikan tangan pada Shinta mengisyaratkan agar duduk bersamaku disini.
Shinta mengerti sambil mengacungkan jarinya membentuk huruf O dan segera menghampiriku. Aku segera memulai pembicaraan hangatku tentang tata cara dalam tarik suara. Shinta menjelaskan panjang lebar dengan menggebu-gebu, aku pula bersemangat jika mendapatkan pelatihan teori maupun praktek darinya, karena ia sangat imanijatif. Tak lama setelah itu, aku tertegun sejenak dengan pandangan kosong.
“Hei, kamu ngelamun yah?” sambil melambaikan tangan kecilnya kedepan mukaku.
Aku sontak kaget dan refleks menjawab, “Enggak kok aku cuman kagum saja sama kamu!”
“Kagum? Denganku? Aku bukan Adolf Hitler yang bisa kamu kagumi karena kelicikanku.”
“Memang, tapi kamu sudah menjadi sumber inspirasi dan motivasiku di bidang tarik suara ini.”
“Ah, kau sangat berlebihan.”
“Tidak,,” pembicaraan kami terpotong karena mikrofon pusat dari ruang tunggu berbunyi,
“Mohon perhatian!” kata suara itu.
“Sebentar lagi kami akan memberitahukan siapa yang akan lolos kebabak selanjutnya.”
“Yang pertama nomor, 6, 9, 15, 16, 22, 28..”
Aku langsung berdiri dari tempatku duduk dan melompat-lompat kegirangan. Shinta melihatku dengan senyum bangga karena hasil kerja kerasnya tidak sia-sia
“31, 35..”
Terdengar riuh dari tengah ruangan, ternyata Kirana dan Nichole, mereka juga lolos. Ah mengapa aku memikirkannya, mereka akan jadi sainganku di babak selanjutnya.
Setelah usai acara itu, diumumkan bahwa babak selanjutnya akan diselenggarakan minggu depan. Tetapi sialnya aku mendapat kelompok grup bersama Kirana dan Nichole. Aku lihat dari kejauhan muka mereka dilipat karena mendapatkan teman grup dengan aku.
“Tak usah kau perdulikan, yang harus kamu konsentrasikan itu hanyalah menjalin kekompakan dengan mereka jika ingin menang!” kata Shinta dan sambil berpamitan Shinta pergi dengan motor pinknya.
Aku menghampiri Kirana dan Nichole,
“Hai teman-teman. Bagaimana ini jadwal latihannya? Kapan dan dimana?” sapaku hangat.
“Ah kami nggak tahu urus aja sendiri.” Cetus Nichole, “Kami pusing!”
Aku diam. Merasa tak dihargai. Aku mencoba menyusun jadwal untuk mereka, dan jadwal pertama gagal, jadwal kedua gagal, jadwal ketiga apalagi gagal total. Aku hamper menyerah menghadapi mereka. Mereka tidak bisa satu visi denganku.
“Nah ini cocok!” Kata Kirana.
“Baiklah inilah jadwal kita, latihan hari Senin, Selasa dan Jum’at.” Jelasku.
“Oke” Mereka berdua serentak menjawab.
Aku menenteng tas ranselku dan berpamitan untuk pulang dari tempat audisi, aku mengambil helm putih bergambar bunga daisy milikku dan segera mengambil motor matik-ku di pelataran parkir. Kutancapkan gas, aku berkendara pelan dan memang kusengaja karena aku telah berhasil membangun keakraban dengan mereka yang sombong.
Selang beberapa menit mengarungi jalanan, aku sampai di depan kosan. Disana berdiri sesosok tubuh menghadap ke pintu rumah, berambut pirang ikal dengan sepatu boots berhak 5 sentimeter. Dan aku sangat mengenal sosok itu, Shinta.
“Shin..” sapaku dari belakang.
“Hai, aku berniat membantumu membuat partitur lagu yang akan kalian nyanyikan.”
Aku mengangguk.
Kami berdua menaiki tengga kosan sampai di lantai dua kamar nomer 15. Kami masuk dan segera mempersiapkan segalanya. Organ milikku, sebuah kertas dan suaraku tentunya. Setelah beberapa menit setelah permulaan kami mendapatkan partitur yang tepat untuk kunyanyikan minggu depan.
Didadaku Ada Kamu milik Maia.
Kami menyusun semuanya mulai dari suara sopran, messo, sampai ke nada altonya. Kami mencoba menyanyikannya dan merekam hasil nyanyian kami dengan menggunakan tape recorder dan hasilnya Walla.. Indah komposisinya.
“Aku siap untuk latihan Senin besok!”
Kirana mengangguk dan tersenyum, lalu berpamitan untuk pulang. Aku mengiyakan sambil mengantarnya ke depan kosan.
Aku masuk ke dalam kamar 3x4ku sambil membaca sekilas partitur yang kami buat tadi. Beberapa menit kubaca mata ini sudah memberontak untuk diistirahatkan jadi segera kutata tempat tidur dan kutempati agar bisa cepat sampai ke alam mimpi yang indah.
Esok paginya, setelah aku membersihkan diri. Aku segera memakai tas ransel komprang berwarna cokelat mudaku dan melucur ke tempat latihan. Ya, rumah Kirana. Rumah gedong besar berpagar otomatis dan berornamen minimalis tetapi sangat megah. Rumahnya terletak di kompleks perumahan elite dan kompleks perumahan para pengusaha di kotaku. Memang ayahnya adalah mempunyai rumah produksi yang lumayan terkenal. Mungkin itulah yang membuat ia jadi sangat sombong. Aku yang orang biasa-biasa saja, yang tinggal di kos-kosan menengah sepertinya tak layak menampakkan diri disana, tapi sudahlah semua demi cita-cita menjadi penyanyi terkenal.
Aku melangkah sedikit cepat di depan pintu gerbang perumahan yang bertuliskan “Western Village” bergaya tulisan zaman Inggris tahun delapan puluhan. Pertama kali memasuki gerbang pertama aku tak kaget melihat disanasini terpatri rumah-rumah elite berornamen klasik seperti di gerbang utama. Di blok B terpampang rumah-rumah yang bernuansa hijau—ya mungkin rumah para aktifis global warning, haha. Di blok C dan inilah mungkin rumah Kirana, rumah bergaya minimalis berjejer rapih dari nomor 1 sampai nomor 20. Kulihat sepanjang jalan terparkit mobil-mobil mewah milik pemilik rumah masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara lembut yang berteriak di nada F#.
“Hei,” teriak suara itu.
Kulihat dari kejauhan, dengan rambut dikepang satu dan memakai boots warna merah, ya langsung ku kenali sosok itu. Kirana.
“Haii.”
“Mari masuk ke studioku!”
Studio? Batinku bergetar, andai aku mempunyai studio sendiri.
“Yah.”
Aku melangkah masuk ke Studio Kirana di sebelah persis rumah gedongnya. Aku masuk dan terasa perbedaan suhu di dalam dan di luat studio. Disana terpampang begitu banyak alat-alat musik, mulai dari gitar, organ, drum sampai harpa klasik pun ada di studionya. Disana juga telah hadir, guru vokal yang sangat ku kenal. Pak Yakob, guru vokal paduan suaraku ketika SMP dulu. Terjadilah nostalgia kecil disana, aku bersenda gurau khas dengan Pak Yakob yang sering kulakukan dulu waktu saat lomba paduan suara tingkat provinsi.
Nichole menepuk-nepukkan kedua tangannya, “Cukup sudah nostalgianya.”
“Bapak saya bayar bukan untuk mengobrol dengan Claire, tetapi untuk membuat kami menang lomba Senin depan!” bentak Kirana sambil mengerutkan dahinya.
“Maafkan saya,” jawab Pak Yakob.
Ya latihan membosankan dengan banyak konflik disana, aku yang paling sering salah menembak nada-nada yang sangat rendah dan yang sangat tinggi. Mungkin karena ambitus suaraku yang Messo-Sopran. Tetapi Pak Yakob menoleransinya. Setelah beberapa kali gagal dalam menembak nada, aku duduk di pojokan studio sambil melihat jam. Astaga!!! Sudah tiga jam aku berada di Studio ini untuk latihan. Di tengah lamunanku aku teringat akan partitur yang kubuat bersama Shinta kemarin malam. Kurogoh tas komprangku dan kucari-cari kertas partitur lecek milikku. Ketemu. Kuberikan kepada Pak Yakob dan aku berpamitan untuk pulang. Kukendarai sepeda matik milikku dan langsung beranjak dari kompleks perumahan elite itu.
Tiga puluh menit perjalanan perjalanan kugunakan untuk melamun. Melamun, apakah aku bisa berhasil di audisi babak kedua ini? Aku sama sekali tidak bisa membentuk chemistry dengan teman satu grupku, apakah aku harus mundur dari grup mereka? Oh Tuhan aku bingung. Apakah yang benar dan harus kulakukan? Aku dilemma Tuhan. Apakah menyanyi bukan jalanku? Jika bukan, apakah jalan yang kau berikan padaku?
Sepeda motor matikku, sampai di depan kosanku yang sudah terlihat lengang mungkin karena hari libur. Banyak yang pulang kampung ke daerah masing-masing. Aku menaiki tangga dan masuk kedalam kamarku. Letih sekali rasanya badan ini setelah tiga jam bernyanyi di dalam studio Kirana. Kutidurkan tubuh besarku ini di atas ranjang tanggung bersprei motif bunga berwarna kuning dan kuharap aku segera berselancar ke dunia kapuk yang indah dan bisa kuatur sebagaimana adanya.
Di dunia kapuk memang sangat nyaman, tetapi hanya sesaat indahnya kurasa. Mentari pagi yang membuat mataku nanar telah menghilangkan indahnya mimpiku. Mimpi menggelar konser tunggal yang disaksikan berjuta-juta penonton. Mimpi hanyalah mimpi dan tak akan jadi nyata.
Mentari telah membangunkanku untuk menghadapi dinamisnya dunia nyata. Segera kubangunkan tubuhku yang setengah sadar, kutuntun menuju kamar mandi untuk mengembalikan tenaga aku bergegas mandi dan kulihat kearah jam dinding. Ternyata jam sudah menunjuk ke angka 8 pagi.
“Wah aku telat latihan!” kataku di dalam hati.
Segera kupercepat semua kegiatanku dan melesat menuju motor matikku. Kutancap gas sampai ke batas maksimum untuk mengejar waktu. Lima belas menit—lebih cepat dua kali daripada biasanya—waktu yang kubutuhkan untuk menuju ke rumah Kirana. Cukup singkat memang. Kulihat dari kejauhan tampak wajah merah padam Kirana. Mungkin karena menungguku cukup lama.
“Hei,” bentaknya “Kamu punya jam gak sih dirumah?”
“Maaf aku tadi kesiangan bangun,” aku menjawab sambil menunduk.
“Sudahlah!”
Kami pun masuk ke dalam studionya. Di dalam sudah menunggu dengan muka dilipat. Nochole duduk di depan organ sambil memainkannya kecil-kecil. Melihat kehadiranku ia berhenti bemain dan melihat kearahku tajam. Aku yang saat ini merasa bersalah malah makin merasa bersalah.
“Maafkan aku!”
“Yah.. Terserah kamu lah,” ucap Nichole dengan nada yang tinggi.
Latihan ini terasa sangat mengasikkan. Partitur yang kubuat ternyata cocok untuk setiap jangkauan nada setiap dari kami. Pak Yakob pun terlihat lebih rileks mengajar kami. Hari ini latihan yang membuat chemistry di antara kita tumbuh dan seakan bersemi.
Matahari telah menggelincirkan diri ke Barat. Latihan kami pun usai. Dengan raut wajah letih kami saling berpandangan dan saling memotivasi satu sama lain. Di dalam benakku, apa yang membuat mereka berubah? Apakah karena partitur yang kubuat bersama Shinta? Begitu banyak pertanyaan tapi sudahlah, yang penting saat ini adalah mereka telah berubah dan semoga ini awal yang baik untuk karirku mendatang.
Waktu berjalan begitu cepat, kami pun telah siap untuk menghadapi audisi babak kedua nanti siang. Aku yang pagi-pagi sekali sudah bangung bergegas menancap gas menuju ke rumah Kirana untuk make-up. Tiga puluh menit seperti biasa kulalui dari rumahku menuju ke kompleks elite Kirana. Tibanya di gerbang, aku disambut muka riang dari Kirana dan Nichole, hal yang tidak biasa memang tapi biarlah itu semua berkat Shinta. Terima kasih Shinta kau memang sahabat terbaikku.
Jam berbunyi sebelas kali, tandanya kami harus berangkat ke tempat audisi yang kebetulan dekat dengan rumah Kirana. Kami semua menuju mobil sambil membawa peralatan make-up kami. Mobil Alpart abu-abu bernomor polisi DK 3345 KI itu melesat kencang menyusuri jalanan mengejar waktu. Tepat pukul 11.15 kami sampai di depan gedung tempat kami audisi. Jantung kami terasa begitu berdegup kencang. Kami sangat grogi. Kami menuju ke tempat pendaftaran ulang dan kami mendapat giliran nomor 2 setelah grup bernama Marriposa yang bisa dikatakan sudah andal dalam urusan tarik suara. Tetapi, kami tetap optimis dan yakin bahwa kami bisa.
“The Klaniki,” petugas pendaftaran memanggil kami.
Kami beranjak dari tempat duduk kami dan melesat menuju ke ruang audisi. Jantungku dan teman-teman begitu terasa berdetak keras. Kami masuk ke ruang audisi yang begitu besar itu dengan langkah kecil-kecil yang cepat. Aku berdiri di tengah di depan mikrofon gantung yang disediakan panitia.
“Perkenalkan diri kalian,” kata juri perempuan yang mengaudisiku pada audisi babak pertama.
Kirana mengambil ancang-ancang untuk menjawab, “Baik, kami dari The Klaniki.”
“Kami disini untuk mengguncang dunia dengan simfoni dan nada yang kami buat!”
“Kami adalah tiga wanita yang akan membuat dunia tercengang!”
“Baik,” potong juri. “Pertunjukkan suaramu!”
Kami mulai dengan suara Alto milik Kirana yang menyanyikan,
“Didadaku,” dengan satu not lebih rendah daripada aslinya.
Kemudian aku lanjut dengan suara messo yang kupunya.
“Ada senyummu,” dengan nada F#.
“Ada cintamu,” suara sopran-sopraneno milik Nichole yang khas membumbui aksi kami.
Dan begitu selanjutnya hingga akhir dari penampilan kami, yang kami suguhkan dengan pecah suara yang begitu indah di atas panggung ruang audsi yang membuat para juri memberikan standing applause kepada kami.
Ketiga juri berunding untuk menentukan hasil dari kerja keras kami. Setelah lima menit bergulir panas, salah satu juri membuka pembicaraan,
“Baik, setelah kami rundingan maaf. Anda akan berhenti disini.”
Terbesit muka sangat kecewa dari wajah kami.
“Tetapi, kalian akan lanjut ke Jakarta untuk membawa nama baik kota kalian.”
Kami secara bersamaan melompat kegiraan di atas panggung, kami meneteskan air mata bahagia. Semua seperti mimpi-mimpiku di dunia kapuk menjadi penyanyi di sebuah panggung megah. Tapi mimpi itu akan menjadi kenyataan sebentar lagi!
Setelah sedikit merayakan di depan para juri, kami pun mohon pamit dan mengisi persetujuan mengikuti babak penyisihan nasional di Jakarta. Kami semua setuju. Kini aku tahu, betapa berartinya masa ini, masa dimana ketidakharmonisan yang sangat besar menutupi setiap keselarasan. Akan bisa diruntuhkan dengan berusaha membangun keselarasan itu dengan beribu cara. Sebuah lantunan melodi dari Audisi Babak Kedua..Oleh: Andaka Rizki Pramadya